Bagian 7.

6 0 0
                                    

 

Suasana lapangan sekolah yang riuh pagi ini terjadi karena kepala sekolah yang tiba-tiba meminta mereka berkumpul. Padahal hari ini tidak ada jadwal upacara, karena memang hari ini adalah hari rabu, bukan senin. Tapi entah kenapa semalam di grup kelas disiarkan bahwa pagi ini seluruh murid untuk berkumpul di lapangan sekolah. Untungnya cuaca pagi ini tidak begitu panas, dengan langit kelabu dan angin yang berlalu-lalang sejak tadi tidak membuat murid terlalu kepanasan.

“Tumben banget, deh, disuruh kumpul kayak gini?” ujar Risa dengan sesekali membenarkan ujung hijabnya yang bengkok karena angin.

Uma mengangkat bahunya, “Mungkin ada keperluan? Makanya kita semua di kumpulin disini.”

“Kalo enggak ada keperluan ngapain kita dipanggil, Uma?” Risa memutar bola matanya, jengah.

Uma hanya terkekeh, menertawakan kebodohannya sendiri.

“Cek, cek, 1 2 3, cek?” suara ibu guru yang mengecek microphone-nya apa sudah menyala atau belum.

“Selamat pagi, anak-anak?” sapanya dengan senyuman lebar.

“Pagi, Bu!” jawab para murid bersamaan.

“Pagi ini, ibu cuma mau mengumumkan bahwa sekolah kita akan mengadakan pertandingan persahabatan dengan sekolah tetangga,” terangnya.

Seluruh murid bertambah riuh kesenangan, padahal pengumuman yang diberikan baru setengahnya.

“Diam dulu anak-anak!” ucapnya tegas, setelah dirasa sepi ibu guru berwajah bulat dengan keriputan yang mulai terlihat itu kembali bicara.

“Lomba persahabat ini diadakan karena sekaligus merayakan hari berdirinya sekolah tetangga. Jadi, ibu akan sebutkan lomba-lomba yang mereka akan adakan, yaitu; Sepak bola hanya untuk kelas dua belas, lomba voli untuk kelas sepuluh dan kelas sebelas, lomba basket untuk kelas dua belas putra dan putri, lomba pembacaan puisi, dan yang terakhir lomba pembacaan Al-quran. Jadi, setiap kelas akan mewakilkan satu atau dua anak untuk digabung dengan kelas yang lain, dan untuk lomba puisi dan baca Al-quran bagi yang berminat harap langsung menemui ibu setelah acara ini dibubarkan.”

“Dan akan ada pentas seni sebagai puncak acara berdirinya sekolah. Dan untuk suporter hanya untuk kelas dua belas yang boleh datang! Hitung-hitung sebagai hiburan sebelum naik ke semester akhir bulan depan.”

“Yes!”

“Makasih ibu yang cantik!”

“Ibu guru ter the best!”

Dan masih banyak lagi teriakan yang berasal dari anak kelas dua belas yang kesenangan karena diberikan izin untuk menonton pertandingan di sekolah tetangga.

“Mengenai jadwal acara akan bapak-ibu guru umumkan di grup kelas, ya, anak-anak. Harap untuk segera mengumpulkan daftar nama anak yang akan berlomba kepada wali kelas masing-masing! Sekian dari ibu, wassalammualaikum warrohmatullahi wabarokatuh.”

“Wa'alaikumsallam warrohmatullahi wabarokatuh. “ Salam sebagai penutup pengumuman pagi ini. Setelahnya para murid langsung bubar menuju kelasnya masing-masing karena jam pelajaran akan segera dimulai.

* * *

Jam istirahat tengah berlangsung, suasana kantin yang ramai menjadi pemandangan yang biasa bagi Uma dan Risa setiap harinya. Padahal Uma tengah tidak lapar, tapi sahabatnya itu lah yang menariknya hingga dia berada disini.

“Uma, kamu kenapa enggak menyalonkan diri saja untuk lomba baca Al-quran? Suaramu kan bagus.”

“Hmm, enggak, ah, Sa. Soalnya yang baru bilang bagus dan denger suara aku kan baru kamu sama orangtuaku. Lagian, aku enggak PD kalo harus tampil didepan umum gitu.”

“Kapan lagi kamu bisa tunjukin kemampuan kamu, Ma?” kata Risa bersikukuh untuk Uma mengikuti perlombaan.

“Ck. Lagian aku masih harus banyak belajar, Sa. Kamu aja kalo kamu minat,” jawab Uma dengan nada tidak suka.

Risa yang merasa temannya mulai marah itu hanya menyengir kuda—menampilkan deretan gigi putihnya.

“Yaudah, jangan marah dong? Kan aku cuma kasih saran.”

“Saran atau pemaksaan?” balas Uma ketus.

“Ish, Uma, mah ...! Aku cuma kasih saran Uma, bukan maksa kamu!” rengek Risa sambil menyenggol-nyenggol bahu Uma yang duduk disampingnya.

“Iya, aku tau Calrisa ...!” Uma tersenyum paksa.

“Oiya, aku denger-denger yang daftar untuk lomba baca Al-quran udah ada satu orang, loh,” kata Risa sambil menyeruput es teh miliknya.

“Siapa?” tanya Uma penasaran.

“Itu loh, kalo enggak salah namanya Fajar, deh?

Uma terdiam dari aktivitasnya bermain ponsel. Mendengar nama laki-laki yang baru disebutkan Risa tadi seakan mengingatkannya pada jaman smpnya dulu.

Bersambung.


Jangan lupa vote n cover ♡

AZZUMA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang