Bagian 20.

5 0 0
                                    


Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya sudah berada didepan mata. Waktu bagi seluruh murid kelas dua belas diuji dengan ulangan Nasional. Empat pelajaran utama yang diujikan ialah; Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Ingris, dan Ipa.

Gugup? Sudah pasti, karna inilah yang akan menjadi puncak perjuangannya selama dua belas tahun bersekolah. Uma sudah belajar dan juga minta doa kepada kedua orangtuanya sebelum berangkat pagi ini. Setelah ini ia hanya tinggal berusaha semampunya untuk mengisi setiap lembar ujian dan menyerahkan hasilnya pada Allah.

‘Ya Allah, hamba serahkan semuanya kepada-Mu, semoga hari ini berjalan baik dan hamba mendapatkan hasil terbaik.’ Batin Uma berdoa.

“Semangat, Uma!” ucap Risa memberi semangat sembari mengepalkan tangannya.

Uma tersenyum dan meniru gaya Risa, “Semangat juga Risa!”

Bel berdering, seluruh murid mulai menempati kelas dan tempat duduknya masing-masing. Uma yang berada dikelas A sedangkan Risa yang berada dikelas sebelahnya, dikelas B.

Di tempat duduknya Uma terus ber-istigfar untuk menenangkan hatinya dari rasa gugup yang melanda. Bahkan tangan Uma sudah berkeringat karena saking gugupnya.

“Baik anak-anak, kita langsung mulai saja ujian kita pada hari ini! Bapak harap kalian bisa tenang saat mengerjakan, dan dapat menghasilkan nilai yang terbaik nantinya. Semangat!” kata seorang pak guru yang berumur kisaran empat puluh lima tahun itu memberi semangat pada murid-muridnya.

“Semangat!” jawab kompak seluruh murid.

Akhirnya ujian pertama dimulai, pelajaran Bahasa Indonesia menjadi mapel pertama yang akan diujikan hari ini. Guru memberikan waktu enam puluh menit untuk memgerjakan tiga puluh soal PG dan juga sepuluh tugas Esay.

Uma mulai membaca satu persatu soal dan mengisinya. Seperti biasa disetiap soal akan ada bagian membaca ringkasan ceritanta yang menurutnya akan semakin memperlama ia mengerjakan tugas, tapi apa boleh buat? Memang seperti itulah tampilan ulangan Bahasa Indonesia bahkan sejak ia masih duduk dibangku sekolah dasar.

Dengan cepat dan yakin Uma menyelesaikan soal satu persatu hingga akhirnya dalam sepuluh menit terakhir Uma dapat menyelesaikan ujiannya, sisa waktu ia jadikan untuk mengoreksi ulang takut kalau ada bagian yang terlewat ole Uma.

“Terimakasih untuk hari ini anak-anak! Bapak harap, besok kalian bisa siap untuk mengerjakan ulangan Matematika.”

“Iya, Pak!”

Setelah guru bernama Hendri itu keluar kelas, satu persatu anak murid lain juga mengikuti jejaknya. Uma dapat pesan dari Risa tadi, kalau ia langsung pulang karena ada urusan penting bersama keluarganya.

“Uma, tunggu!” suara seseorang yang membuat langkahnya terhenti.

Ardi, teman baik Fajar itu tengah berlari kearahnya.

“Iya, kenapa, Di?” tanya Uma, saat Ardi sudah berada dihadapannya.

“Ada yang ingin aku katakan sama kamu, bisa bicara sebentar?”

Dahi Uma berkerut, “Bukannya emang kita lagi bicara yah sekarang?”

“Bukan seperti ini yang aku maksud. Boleh ikut aku sebentar? Enggak enak kalau ngomong disini.”

“Dimana emangnya?”

“Kalau cafe deket sekolah?”

“Sepeda Uma?”

“Nanti kita jalan kesana, kita titip disekolah aja dulu.”

“Ouh, yaudah boleh.”

Akhirnya keduanya berjalan menuju Cafe yang terletak didekat sekolah, mungkin hanya beberapa langkah saja. Saat jalan pun keduanya tetap menjaga jarak, tepatnya Ardi yang berjalan lebih dulu, dan Uma mengikuti nya dari belakang.

Saat sampai keduanya langsung memesan minuman, agar enak saat bicara dan juga menghargai para pelayan cafe.

“Makasih, Kak!” ucap Uma pada pelayan cafe yang menghantarkan pesanan mereka.

“Iya, Mba-Mas," jawabnya tersenyum ramah.

“Jadi apa yang mau kamu bicarakan, Di?” tanya Uma langsung, karena sejak pesanan datang Ardi hanya terus diam seperti tengah memikirkan sesuatu.

Ardi menarik napas dan membuangnya perlahan. Tekadnya sudah bulat, apapun hasilnya itu urusan nanti, yang terpenting sekarang adalah pengakuannya terhadap perasaannya pada Uma.

“Uma, aku enggak tau gimana caranya buat kamu percaya sama aku. Aku juga enggak bisa bicara pake bahasa yang manis soal ini, tapi, Ma, aku mau jujur kekamu.” Ardi menjeda ucapannya, dan kembali membuang napas.

Uma yang seakan mengerti pembicaraan ini mengarah kemana jadi merasa cemas sendiri. Apalagi melihat keseriusan wajah Ardi yang belum belum pernah ia lihat sebelumnya.

“Kalau ... aku suka sama kamu, Ma!”

Benar saja.

“Aku enggak tau sejak kapan perasaan ini ada, tapi aku benar-bener tulus, Ma. Aku juga tau kamu mungkin enggak akan mau pacaran, karena aku tau itu dari Risa. Tapi aku berharap kamu bisa memikirkannya lagi, Ma, aku cuma takut setelah kita lulus aku malah enggak bisa liat kamu lagi!”

Sudah tau Uma tidak mau pacaran tadi Ardi memintanya untuk berpikir lagi? Astagfirullahalazim, jangan sampai Uma benar-benar melakukan hal yang jelas-jelas haram dan berdosaitu. Uma tidak mau, tidak akan mau!

“Aku harap—“

“Uma enggak bisa, Di! Kamu seharusnya lebih tau dari aku! Pacaran itu haram, Di, dan aku enggak mau coba buat berpikir ulang apalagi merubah keputusanku!” kata Uma memotong perkataan Ardi.

Uma kelepasan, ia seharusnya tidak perlu sampai terlalu marah karna itu. Wajar kalau mungkin perasaan cinta ada dalam diri Ardi, karena memang perasaan cinta itu fitrah bagi manusia.

Uma menghembuskan napas, mencoba menenangkan hatinya sebelum bicara.

“Aku hargai perasaan kamu, Di, tapi aku enggak bisa kalau harus merubah keputusanku. Kamu laki-laki yang baik, dan Uma berharap kamu juga menghargai keputusan Uma. Jodoh enggak akan kemana, Di! Kalau aku memang bukan jodoh kamu, berarti aku memang bukan yang terbaik buat kamu, Di.” Uma mengulas senyuman. Dia berharap ucapannya tidak menyakiti hati laki-laki baik dihadapannya ini.

“Maaf, ya, Di?”

Kini mata keduanya bertemu untuk sesaat. Ardi ikut mengulas senyuman, meski terlihat dengan jelas rasa kecewa dimatanya.

Ardi mengangguk, “Enggak papa, Ma, aku sudah memutuskan untuk jujur mengenai perasaanku sejak awal juga sudah siap menerima semua hasilnya. Maaf kalau aku sampai mau mengajakmu untuk melakukan hubungan haram itu. Kamu wanita baik, Ma, semoga kelak kamu memang jodohku, atau semoga aku memang jodohmu.” Uma memasang wajah datarnya. Melihat itu Ardi malah tertawa.

“Aku bercanda, Ma, Jangan terlalu serius! Nanti aku seriusin beneran, loh!” ucap Ardi bercanda. Uma melotot.

Lalu sesaat kembali kewajah seriusnya, “Semoga kelak laki-laki yang akan menjadi jodohmu, memang laki-laki yang terbaik bagimu, Ma.”

“Terimakasih, Di, semoga kamu pun begitu.”

“Kalau tidak ada lagi yang mau dibicarakan, Uma pulang, ya, Di? Masih harus belajar buat ulangan besok.”

“Ouh, iya, Ma, silahkan, aku masih mau ngadem disini, hehe.” Uma hanya tersenyum dan mengangguk, lalu bangkit dan berlalu dari hadapan Ardi.

Minuman yang mereka pesan sudah dibayar Ardi tadi. Setelah kepergian Uma, Ardi memijat pelipisnya. Hatinya sesak? Pasti. Tapi ia sudah bersiap untuk kemungkinan seperti ini, meski saat merasakannya tetap saja terasa berat.

Seulas senyuman terbit dari seseorang yang sejak tadi memperhatikannya keduanya dari jarak yang cukup jauh namun masih dapat mendengar ucapan mereka berdua.

‘Kamu memang wanita yang beda, Ma.’ ucapnya dalam hati, daan berlalu dari cafe untuk pulang kerumahnya.

****
Bersambung ...

14/03/2023.

AZZUMA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang