Embun's Confession

49 6 4
                                    


Ujian Nasional telah usai, kini anak-anak kelas dua belas sedang lenggang tak mempunyai kesibukan kecuali untuk belajar ujian masuk perguruan tinggi, salah satunya adalah Embun. Ya, karena dia tidak lolos jalur undangan tentu saja dia akan mengambil ujian SBMPTN yang akan dilaksanakan sebentar lagi.

Itu berarti akan dekat waktunya untuk dia menyatakan lerasaannya pada sahabat kecilnya seperti apa yang dia janjikan dulu saat dirinya menyadari perasaannya. Walaupun dia sudah mencoba untuk melupakan perasaan ini dengan memacari beberapa orang, tetap saja hatinya akan panas saat melihat Biru bersama gadis lain. Apalagi dengan teman sejurusan Biru yang kebetulan juga kakak kelasnya dulu, cewek yang bernama Arini. Mereka kerap kali belajar atau hanya sekedar jalan bersama yang membuat Embun kebakaran jenggot sendiri.

Terkadang kalau dirinya sudah tidak tahan dengan rasa cemburu itu, dia memilih untuk menyibukkan diri dengan pacarnya, berusaha untuk melupakan Biru. Namun baru beberapa minggu yang lalu dia sudah putus dengan pacarnya dengan alasan klasik, pacarnya merasa Embun tidak memberikan effort yang sama dengan pacarnya dan dia juga menyadari itu. Tentu saja, bagaimana tidak? Dia masih sangat menyukai Biru.

Embun sudah curhat kepada beberapa orang yang dekat dengannya, Keisha dan Kak Karina, dia kemudian meminta saran kepada keduanya. Sementara Karina mengatakan tunggu saja nanti juga Biru akan menembaknya, yang tentu saja dia ragu akan hal ini. Adapula Keisha yang menyarankannya untuk menembak saja duluan. Dia kemudian memutuskan untuk melakukan saran dari Keisha, dia sudah tidak sabar. Capek banget dia mendem rasa cemburu ini.

Dua minggu sebelum ujian masuk universitas, saat ini dia tengah makan malam bersama Biru setelah nonton film di sebuah kafe. Embun memutuskan saat inilah waktu yang tepat untuk menyatakan perasaannya.

Setelah selesai makan, Embun menghembuskan nafasnya perlahan, menahan detakan jantungnya yang sedari tadi sudah menggila. Mencoba menetralkan nafasnya yang ternyata tanpa disadarinya sudah memburu, dia masih memejamkan matanya saat ditanyai Biru.

"Embun kenapa?" Tanya Biru setelah selesai makan dan minum.

"Hm?" Embun mendongak sedikit linglung.

Biru menghela nafas, "Lo kenapa? Nafas lo nggak teratur. Mau gue pesenin minum lagi? Atau mau pulang?"

"Ng-nggak. Tunggu bentar ada yang mau gue omongin ke lo." Embun menghela nafasnya pelan.

"Oh, ya udah. Gue boleh pergi ke toilet dulu nggak?"

Embun mengangguk. Menatap kepergian Biru yang menuju ke toilet, dia meletakkan tangannya ke dadanya. Berharap detakan jantungnya mereda sedikit. "Ah sial. Gugup banget sih."

Saat dirinya masih mencoba untuk menenangkan diri dari kegugupan, tanpa sengaja dia melihat ponsel Biru menyala. Kebetulan Biru meninggalkan ponselnya dalam keadaan layar menghadap ke atas. Dia melihat nama Arini muncul di layar tersebut, tak lama kemudian ponsel itu mati kembali. Telepon tak terjawab dan Embun juga enggan mengangkatnya karena menurutnya itu tidak sopan.

Memilih untuk mengabaikan itu, namun apa daya dia juga kelewat ingin tahu saat nama Arini muncul lagi di layar itu, bedanya saat ini hanya pesan yang terlihat. Dan pesan itu sangat mengejutkan Embun, dia membelalakkan matanya lebar. Jantungnya serasa berhenti berdetak untuk sesaat, kemudian secara ajaib detakan itu langsung meningkat pesat. Saat ini bukan karena kegugupan, tapi karena keterkejutan.

Perasaan sakit, kaget, ingin menangis, sesak, kecewa langsung memenuhi hatinya. Embun memilih menundukkan kepalanya untuk menahan semua perasaan itu. Campur aduk, ternyata selama ini mereka pacaran? Kenapa Biru nggak bilang? Apakah dia masih sahabat Biru? Dan berbagai macam pertanyaan lainnya yang membuat dia ingin menangis saat ini juga.

Keluarga BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang