JANGAN LUPA VOTE DAN COMMENT DISETIAP PARAGRAF ☃️
Playlist🎶 : Tuhan sebut sia-sia—amigdala
[CHAPTER 05 — BUNGSU YANG TAK DIAKU]
"Rasa yang paling buruk adalah merasa tidak diinginkan."
Netra hitam yang nampak sendu milik lelaki yang baru saja turun dari motor ninja itu menatap bangunan bertingkat yang ada dihadapannya. Selalu saja begini, setiap berada dirumah rasanya sesak dan dilingkupi rasa takut yang tak beralasan.
Helaan napas terdengar, Haikal melangkahkan kakinya mendekati pintu masuk dengan langkah yang kecil dan ragu-ragu. Mungkin bagi orang lain bangunan didepannya ini hanya sebuah rumah yang terbuat dari batu bata, tetapi bagi Haikal tempat itu adalah sumber dari segala trauma yang tercipta.
Saat Haikal membuka pintu rumah, suara bercakap-cakap dan tawa terdengar. Kening Haikal berkerut dalam, kenapa rumahnya begitu ramai?
Tak ingin menerka-nerka Haikal pun melangkah semakin dalam. Dan benar saja saat Haikal melangkah ke ruang tengah, ia melihat di ruang makan ada dua pasang suami-istri yang tak lain adalah orang tuanya beserta Tante dan om-nya, adik dari Fabian. Mereka saling melemparkan candaan sembari tertawa pelan, terlihat sangat bahagia.
Lalu netra Haikal beralih ke lelaki yang duduk disamping bundanya, itu Haidar, anak kesayangan seluruh keluarga. Ternyata kakaknya sudah pulang setelah hampir satu bulan diluar kota.
Haikal dapat melihat Fabian mengusap kepala Haidar dengan penuh kasih sayang. Setitik rasa nyeri tiba-tiba menyerang relung Haikal, dadanya mendadak terasa sakit. Kapan dirinya juga bisa merasakan posisi Haidar? Setidaknya sekali saja.
"Haikal, kamu udah pulang? Sini kita makan malam bersama." Haidar menyapa Sang adik saat melihat adiknya itu hanya berdiri membeku di ruang tengah.
Akibat sapaan Haidar, seluruh atensi langsung tertuju pada Haikal. Suara tiba-tiba senyap, tidak ada tawa bahagia, tidak ada raut bercahaya, dan percakapan berhenti begitu saja. Haikal bisa melihat dengan jelas wajah ayahnya seketika berubah masam saat melihat keberadaannya.
Tangan Haikal mengepal kuat menahan sesak. "Nggak perlu, gue udah makan," tolak Haikal dengan datar, sebisa mungkin ia menyembunyikan perasaannya.
Lagipula kalaupun Haikal menunjukkan perasaan yang sedang ia rasa apa akan ada yang peduli? Jelas tidak.
"Yang sopan Haikal! Haidar rela menunda makan malam demi menunggu kamu, seharusnya kita sudah makan dari tadi, tapi mamas kamu ini berbaik hati untuk menunggu kamu. Kalau saja bukan karena Haidar maka ayah—"
"Ayah, udah nggak perlu dipermasalahkan, Haikal mungkin lagi ada urusan diluar jadi pulangnya telat," potong Haidar dengan menyentuh lengan Fabian, meminta agar ayahnya itu tak terbawa emosi.
Rasanya Haikal ingin tertawa miris, tanpa perlu Haidar hentikan ucapan Fabian, Haikal pun sudah tahu apa yang akan dikatakan ayahnya itu, pasti Fabian akan mengatakan jika saja bukan karena Haidar yang meminta menunggu maka Fabian tak akan Sudi melakukan itu.
"Urusan apa? Yang ada dia selalu saja membawa masalah. lihat itu wajahnya penuh lebam lagi, entah dia baru selesai berkelahi dengan siapa, apa mungkin dia mendapatkan pukulan dari wanita yang baru saja dia permainkan, adik kamu itu bisanya hanya membawa masalah saja." Cerca Fabian dengan menatap sengit Haikal.
Haidar menghela nafas pelan, "Jangan soudzon ayah, coba kita tanya baik-baik ke Haikal nya. Tapi sebelum itu lebih baik kita makan dulu, sini Haikal duduk disamping Mas, udah lama kita—"
KAMU SEDANG MEMBACA
SYAHADAT UNTUK HAIKAL
Teen Fiction"𝐒𝐚𝐭𝐮-𝐬𝐚𝐭𝐮𝐧𝐲𝐚 𝐛𝐚𝐡𝐚𝐠𝐢𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐠𝐮𝐞 𝐦𝐢𝐥𝐢𝐤𝐢 𝐬𝐞𝐤𝐚𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐫𝐞𝐛𝐮𝐭 𝐥𝐚𝐠𝐢." Amara adalah satu-satunya rumah bagi Haikal. Saat kegelapan menyelimuti seluruh jalan kehidupan Haikal hingga lelaki itu tersesat begitu...