"Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan," [QS 88:21]
"engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka," [QS 88:22] Bismillahirahmanirahim, dengan nama Allah SWT Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang, saya mulai chapter ini dengan sebuah kutipan 2 ayat yang indah. 2 ayat yang menjadi titik nol menyalanya api semangat bagi saya untuk terus melangkah demi meraih ridha-Nya dalam menjalankan kewajiban sebagai budak-Nya.
"Merah itu berani, putih itu suci" setidaknya itu yang saya pelajari di sekolah dasar tentang arti warna bendera bangsa kita ini, tapi apa itu berani? Apakah menjadi jagoan dan bersikap arogan itu berani? Ataukah membentak orang tua dan berdebat dengan mereka itu berani? Lantas mengapa seorang pemimpin besar dari umat terbaik berdiam diri saat dipaksa menyetujui perjanjian yang jelas-jelas berat sebelah? Dan mengapa seorang yang diutus oleh Sang Penguasa alam semesta hanya melawan ketika diserang?. Pernahkah kita berfikir bahwa bisa saja Rasulullah SAW meminta mereka yang menyerangnya seluruhnya lenyap atau bisa saja Rasulullah SAW meminta mereka yang mencemoohnya seluruhnya mengalami kehancuran. Tapi ketika kita kembalikan kepada sebuah ayat di dalam Al Quran, Allah SWt berfirman,
"Oleh sebab itu berikanlah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat."
[Q.S 87:9]
Maka saya secara pribadi mengambil kesimpulan bahwa misi setiap individu di dalam umat ini hanyalah sebagai pemberi peringatan dan bukan sebagai pemberi penilaian atas tingkat ketakwaan dan kesalehan seseorang, karena bukan hak dan bukan tempat kita untuk menilai sementara hanya Allah SWT-lah yang memiliki hak tersebut.
Maka sebagai pengingat saya sampaikan bahwa langkah yang kita ambil dan perubahan yang terjadi pada diri kita itu murni berada ditangan Allah SWT dan menjadi hubungan personal kita dengan Sang Pencipta. Gerimis merah adalah 2 kata yang mewakili kekhawatiran saya dengan kondisi bangsa kita saat ini, ketika gerimis hitam menggelapkan jalan kita dan memburamkan batasan moralitas kita dan banyak orang sibuk membersihkan cipratan gerimis hitam namun rintik gerimis merah justru turun tak kasat mata, tak berasa namun sangat berbahaya, gerimis merah mewarnai hati kita dengan keberanian yang salah, "merah" palsu yang telah berubah kotor kecoklatan.
Ketika gerimis merah bercampur dengan bahan utama kita, maka tanah berubah lempung dan mudah untuk dibentuk, senjata, manifestasi dari benci dan anarki atau wujud nyata terrorisme?. Itulah yang saat ini sedang mereka bentuk didalam hati kita. umat yang reaktif bukan responsif berdasarkan keberanian yang disalah artikan. Issue mayoritas menjadikan kita mudah dimanfaatkan, kuantitas kita menjadi keuntungan mereka. Tragedi kita tampil sebagai komedi di layar kaca yang diproduksi menjadi tontonan yang malah kita nikmati. Namun gerimis ini tak berwujud, tak terlihat, ia terserap kedalam pori-pori moralitas dan memburamkan pandangan kita dari kebenaran. "Siapa mereka?" adalah pertanyaan yang sering saya dapatkan ketika berbicara soal isu moralitas ini, dunia baratkah? Kafir kah? Bukan, tapi setan dan iblis lah yang saya maksud karena saya menyadari bukanlah tempat dan hak bagi saya untuk menunjuk dan melabeli seseorang dengan tuduhan yang Allah SWT masih memberikan ia nafas dalam bangun-nya ia di pagi hari sebagai bentuk kepercayaan dan ampunan dari Allah SWT yang memberikannya kesempatan untuk berubah dan kembali ke jalan-Nya yang lurus. Maka saya sadari secara penuh bahwa setiap pribadi siapapun itu, mereka yang masih bernafas memiliki potensi untuk dapat bersujud dan berserah diri sebagai budak Allah SWT dan saya tidak akan pernah berani untuk membuat mereka malah menjauhi kebenaran melalui label buruk yang saya lekatkan di diri mereka. Dan karena saya hanyalah seorang pengingat. Allah SWT lah yang maha mengetahui apa yang berada didalam sudut hati saya, kita, dan manusia lainnya.
Merah?
Di masa ini kita banyak temukan pribadi – pribadi yang dengan bangga mempertontonkan keburukan mereka seakan – akan itu adalah kondisi "normal" mereka namun ironi-nya bukan terletak pada fakta bahwa justru keburukan yang terpampang itu dilakukan oleh individu beragama, namun pada kita yang sudah sangat sulit memberikan peringatan, enggan untuk mengingatkan, takut untuk menyuarakan kebenaran. Ketika ada sepasang muda-mudi berjalan berangkulan maka justru kita menganggap itu hal yang biasa dan tak jarang orang tua kita yang mendukung anak-anaknya untuk mencari pasangan sebelum menikah, alasanya "agar cukup pengalaman". Seakan- akan air jernih sudah tidak lagi mengalir di sungai-sungai pemikiran akal sehat kita semua seakan itu hilang, mengering dan menguap seakan tak pernah ada air disana, Ironis? Ya. Tapi tahukah anda apa jawaban pasangan itu ketika saya bertanya mengapa mereka memilih untuk menempuh jalan yang buruk untuk memulai sesuatu yang baik? Retorika pertanyaanya adalah apakah rumah dengan tembok baja bisa dibangun diatas pondasi tanah liat? Atau ekstrem nya tumpukan sampah?. "ya kan karena kita harus kenal lebih dalam, harus tahu bibit bebet bobot dulu, gak cukup cuma karena jantan dan betina aja" jawabnya. memang benar, itu semua benar, tapi apa hubunganya merangkul pinggang wanita dengan bibit? Apa kaitanya berdua-duan di tempat sepi, dengan bebet? Apakah mengetahui bobot harus dari pertukaran percakapan yang berawal dari kebohongan? Saya rasa tidak. Maka mari kita basuh bersih merah palsu yang melekat di hati ini dengan air jernih dan kita kembalikan warna merah yang sebenarnya, merah yang didasarkan kepada putih sucinya keimanan dan kualitas moralitas berdasarkan prinsip ketuhanan. Kita bangkitkan kewaspadaan dan tingkatkan pencegahan pada keburukan yang menyerang karakter umat beragama bangsa ini. karena ketika kita sebagai warga negara bangsa ini mencabut Sila ke-1 dari pancasila maka ke-2 hingga ke-5 tidaklah lagi akan berarti. Hidup Merah Putih! Sebuah keberanian berdasarkan kebenaran yang hakiki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gerimis Hitam Merah
Non-FictionTulisan ini hanyalah pencurahan atas sudut pandang penulis terhadap kehidupan dan dampak atas perkembangan zaman terhadap kualitas moral, tidak ada sedikitpun maksud dan niat untuk merendahkan, mendiskriminasi, ataupun mensalah artikan siapapun atau...