Bab 15

10.2K 900 14
                                    

Malam ini aku memakai sebuah daster berlengan pendek berwarna hijau toska, dengan kerutan-kerutan pita kecil di bagian dadanya. Membuat dadaku terlihat semakin membusung ke depan. Dan mungkin saja itu juga yang menjadi penyebab laki-laki di ambang pintu sana, terpaku dengan mata tak berkedip sedikitpun, memperhatikanku—maksudnya memperhatikan dadaku.

Aku hanya mampu mengusap lengan, dan berusaha menahan gerakan untuk tidak menutupi bagian menonjol tersebut, aku tak mau membuatnya tersinggung. Karena sungguh, ini seharusnya menjadi hal wajar bagi pengantin baru seperti kami.

Jadi, bibirku mengulas senyum semanis mungkin. Kemudian menghampiri Mas Rashda yang telah mengedipkan matanya, tapi tetap memasung pandangan padaku.

"Mas," sambutku hangat, kemudian mengambil tangannya untuk kusalami, dan seperti kebiasaan baru yang kami lakoni, Mas Rashda mengusap kepalaku lembut. Aku kira hanya sampai di sana, tapi ternyata malam ini dia menambahkan satu kecupan panjang di keningku. Kemudian berbisik di telinga. "Lima cantik sekali."

Hanya dapat berdeham-deham canggung. Kemudian bertanya. "Mas mau makan dulu atau mau mandi dulu?"

Mas Rashda membuka kancing kemeja yang ia kenakan, dan dengan sigap tanganku membantu—mengambil alih pekerjaan tangannya itu, hingga ia menaikkan satu alisnya kemudian terkekeh, mempersilakanku membuka kancing-kancing kemejanya hingga selesai.

"Aku mau mandi dulu aja," dia melepas kemeja tersebut, menyisakan kaos putih sebagai dalaman. "Gerah."

Kepalaku mengangguk pelan, menyimpan kemeja tersebut pada keranjang pakaian kotor. Kemudian bergegas turun, setelah menyaksikan Mas Rashda benar-benar memasuki kamar mandi.

Seperti malam-malam sebelumnya, aku menyiapkan makan malam untuk suamiku, menemaninya makan dan mengobrol di sepanjang makan malam kami, kemudian kembali naik ke lantai atas untuk melaksanakan shalat isya berjamaah.

Dan sekarang, ketika aku tengah duduk di pinggir ranjang sembari melipat beberapa pakaian. Tiba-tiba Mas Rashda duduk di sampingku. Tangan kirinya melingkar di sepanjang pinggang hingga perut. Dia menjatuhkan kepalanya pada pundakku, mengendus pada leher dan telingaku, yang mana itu membuatku meremang.

"M-mas ..." Rintihku pelan, setumpuk pakaian yang telah terlipat rapi, kupegangi agar tidak berceceran dari atas pangkuan.

"Hm," responnya, dia tetap mengendus leherku, bahkan sekarang Mas Rashda asik mengecupi leher dan menggigit telingaku.

"Mas ..."

Mas Rashda menyentuh punggung tanganku yang masih memegangi beberapa pakaian. Dia tetap tak berhenti. "Sebentar Lima," bisiknya. Kemudian, mengambil setumpuk pakaian tersebut dan menyimpannya ke atas nakas.

Dan secepat kilat, dia kembali ke hadapanku, melakukan apa yang tertunda beberapa detik yang lalu. Kedua lengan kokohnya merengkuhku ke dalam pelukan.

Bibirnya yang selalu mengecup pipi dan keningku, kini berganti. Bukan hanya mengecup, bibir tebalnya itu kini melumat bibirku agak rakus. Beberapa kali aku mengerang dalam ciuman yang ia berikan. Aku tak tahu kapan ciuman ini berakhir, karena bukannya berhenti Mas Rashda malah semakin menjadi-jadi. Karena, ketika dia mengulum lidahku, kurasakan telapak tangannya mengusap dadaku dari luar kain.

Tubuhnya juga semakin condong, hingga kurasakan punggungku menyentuh permukaan kasur, dengan Mas Rashda yang berada di atasku.

"Mm, Mas ..." Mendesah kecil ketika tangannya meremas lembut payudaraku.

Mas Rashda menggigit kecil bibir bawahku. "Lima cantik," erangnya tepat di atas bibirku yang membengkak karenanya. "Lima milik Mas," lagi, dia mengerang.

Remake ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang