Bab 19

8K 768 8
                                    

Tenggorokanku terasa kering. Mengusap leher pelan, kemudian bangun dari atas ranjang. Menatap sekilas pada jam yang tertempel pada dinding, pukul 10 malam, dan Mas Rashda tak ada di sisiku.

Kedua kakiku menjejak ke atas lantai yang dingin, membuatku merasakan sedikit kejut. Melangkah perlahan menuju dapur untuk meneguk segelas air. Kemudian kembali naik ke atas, menuju ruang kerja suamiku.

"Mas," panggilku, sembari membuka pintu di depanku pelan, kepalaku melongok ke dalam. Di sana Mas Rashda yang tengah berkutat dengan sesuatu memutar kursi perlahan, mulanya dia terkejut dengan kehadiranku, lalu tak lama tersenyum manis.

"Sini," ajaknya padaku, agar mendekat.

"Kok, bangun?"

Aku tersenyum simpul, "tadi haus, terus Mas nggak ada di samping aku, jadi bangun terus ke sini."

"Begitu." Mas Rashda terkekeh. "Padahal Mas sengaja nunggu kamu tidur dulu, kok istri Mas malah bangun lagi."

Keningku berkerut. "Aku nggak boleh ada di sini?" Tanyaku pelan.

Mas Rashda menaikkan satu alisnya, kemudian tertawa pelan. "Boleh," dia menggeleng-gelengkan kepala pelan. "Kenapa reaksimu harus sedatar itu," gumamnya sembari melemparkan pandangan pada apa yang ia kerjakan tadi, aku tak mengerti dengan ucapannya itu, tapi terdengar seperti ironi di telingaku.

"Kalau gitu aku duduk di—" belum selesai aku berkata, Mas Rashda menggeser kursinya ke belakang, dia menepuk kedua pahanya pelan. "Sini," lanjut Mas Rashda.

Tiba-tiba pipiku bersemu, panasnya menyebar sampai ke seluruh tubuh. Telunjukku mengarah pada pahanya. "Kenapa harus di situ?"

"Biar kamu nyaman kalo mau tidur lagi." Alibinya, dia menyunggingkan senyum, yang tak mampu kutolak.

Helaian rambut yang menutupi mataku, kusingkirkan, dan kuselipkan ke belakang telinga. "Tapi, nanti Mas yang nggak nyaman, Mas belum selesai 'kan?"
Dia sepertinya belum selesai dengan kertas-kertas itu, dan kalau aku duduk di pangkuannya pasti akan mengganggu aktivitasnya.

"Nyaman sayang," Mas Rashda menarik pergelangan tanganku lembut. "Ayo," dengan senyum yang terkulum malu, aku bergerak lembut, duduk menyamping di atas pangkuan suamiku.

Dengan halus Mas Rashda menarik kepalaku agar bersandar di bahunya. Dia mengecup keningku lama, "tidur lagi, ya."

Aku menggeleng. "Udah nggak ngantuk." Tapi tetap menyandarkan kepala pada bahunya yang kokoh dan nyaman.

"Tadi seharian ngapain aja?" Tanya Mas Rashda kemudian. Aku berpikir sejenak. Aku tidak melakukan apa-apa, hanya berbelanja bulanan setelah kedua perempuan dengan mulut berbisa itu pergi. "Cuma belanja aja."

Mas Rashda mengambil pulpen yang sempat ia letakkan di atas meja tadi. "Nggak ketemu siapa-siapa?" Tanyanya lagi. Aku menggeleng. "Nggak," aku tidak mau mengatakan bahwa ibunya dan juga Elisa berkunjung ke sini hanya untuk menyerangku secara verbal, aku juga tak ingin membuat hubungan ibu dan anak ini, menjadi rusak, hanya karena gara-gara wanita sepertiku. Aku sadar, aku hanyalah orang baru di hidupnya, jangan sampai menjadi alasannya membantah pada orang yang telah melahirkannya, dan merawatnya sejak dulu.

Mas Rashda kembali mengecup keningku, kemudian kembali berkutat dengan yang ia kerjakan tadi. Sepertinya dia tak ingin melanjutkan pertanyaannya lagi. Kedua mataku melirik kertas yang Mas Rashda coret-coret, banyak sekali angka-angka yang dikurung-kurung yang tertera di sana yang membuatku pusing seketika. "Itu apa?"

"Hm."

"Yang Mas coret-coret?"

"Aljabar linear elementer," jawabnya tak acuh. Seketika aku ingin muntah mendengar kata 'aljabar'. Aku memang payah dalam hal hitung-menghitung.

Remake ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang