Bab 16

9.8K 900 8
                                    


"Mbak, bulu mataku copot."

Lagi. Aku gemas sendiri.

Kedua tanganku semakin cepat, memasang sebuah siger pada kepala gadis remaja di depanku.

"Bentar," ucapku singkat, membalas suara memelas gadis remaja di belakangku.

"Mana?" Tanyaku langsung, setelah berbalik arah menghadap Sisi yang sedari tadi banyak mengeluhkan ini dan itu.

Sisi cemberut, mengangkat telapak tangannya, memperlihatkan satu bulu mata palsu yang sudah terlepas.

Menghela napas lelah. Kemudian memindai seluruh isi minibus yang kami tumpangi dan kami jadikan tempat untuk merapikan diri. Kulongokkan kepala pada jok belakang, menjulurkan tangan hendak mengambil tas besar berisi semua perlengkapan menari kami.

Membukanya cepat, kemudian mencari tas kecil berisi make-up.

"Deketan sini," ucapku, tidak berusaha menyembunyikan kejengkelan yang sedari tadi ditahan.

Tanpa banyak bicara, Sisi mematuhi perintahku. Dan dengan cepat pula kupasangkan bulu mata palsu pada matanya.

Dan bertepatan dengan itu, pintu mobil kami terbuka. "Udah siap semua?" Kata pertama yang diucapkan Mario.

Serentak kami mengangguk, lalu dibalas Mario menggunakan dua acungan jempol. "Kita dapat urutan ke-lima," Mario membuka topi di kepalanya, mengusap puncak kepalanya yang menurutku seperti cilok—dia baru saja menggunduli rambutnya.

"Ayo kita ke backstage. Kita bisa rapi-rapi lagi di sana," ajak Mario kemudian. Kami pun yang berjumlah lima orang mengekor di belakang Mario menuju belakang panggung utama yang terlihat megah.

Di setiap sisi jalan yang kami lewati terdapat beberapa stand-stand bertenda putih, yang menjual berbagai aneka jajanan tradisional, aksesoris, cendramata, dan masih banyak lagi.

Mataku tetap memperhatikan sekitar, walaupun tangan kananku bekerja memasangkan hiasan pada lengan kiriku yang telanjang.

"Maaf, maaf," ucapku, ketika tak sengaja menyenggol orang-orang yang berlalu lalang. Kembali menekuri kegiatanku, hingga kedua sudut bibirku tertarik ke atas ketika hiasan tersebut telah terpasang sempurna—"Aduh!" Reflek tanganku memegangi kepala yang telah terpasang siger—takut jatuh atau berantakan, ketika menabrak sesuatu—mataku memicing, begitupun dengan sesuatu atau yang lebih tepat seseorang yang tak sengaja kutabrak.

Rahangku jatuh dengan tak elok sama sekali. Sedangkan matanya masih memicing, memperhatikanku dengan gayanya yang jauh lebih dewasa, dibandingkan saat pertemuan terakhir kami.

Berapa lama kami tidak saling melihat? Saling bersapa, satu bulan? Dua bulan? atau lebih, terakhir aku melihat dan bercengkrama dengannya sebelum aku menikah.

Tatapanku turun, memperhatikan pundaknya yang terlihat lebih kokoh, dengan tubuh tingginya yang semakin berisi, rambutnya juga sudah lebih panjang sehingga dapat ia kucir setengah di belakang seperti sekarang.

"Terpesona ya, Mbak?"

Terpesini yi, mbik?

Hih! Ambyar sudah, kutarik lagi pujian yang tadi. Sekali tengil tetap saja tengil.

"Halah," aku berdecih. "Bocah!"

Dia terkekeh. "Kita cuma beda tiga tahun, loh, mbak."

"Empat tahun," ralatku asal. Dan dia terkekeh kembali, kebiasaan ngakaknya yang tidak tahu tempat itu sepertinya susah dihilangkan.

"Tuh, tahu. Gap kita cuma dikit, jadi lo nggak bisa dong nganggap gue bocah lagi."

"Terserah," kukibaskan satu tangan. "Minggir lo!" Dan bocah—maksudku, Ujang, dia tetap berdiri di hadapanku, tak menghiraukan intonasi suaraku yang terdengar tinggi.

Remake ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang