Bab 30

10.9K 885 5
                                    

Tatapan nyalang aku arahkan pada segelas cokelat hangat yang Mas Rashda pesankan di sebuah kafetaria kampus, yang letaknya tak jauh dari aula, tempat diselengarakannya prosesi wisuda. Kemudian beralih pada buket bunga dan sebuah paper bag berisi hadiah untuk Mario.

Aku berangkat bersama Mas Rashda yang sekarang entah ke mana, aku tak bertanya banyak, ketika dia bilang ada urusan yang harus ia selesaikan terlebih dahulu. Tadi dia mengajakku untuk ikut serta, tapi aku tak ingin mengikutinya, aku tak ingin bertemu atau pun bersapa terlebih dahulu dengan rekan kerja Mas Rashda, sehingga terlibat percakapan dengan mereka, aku sedang malas berbasa-basi.

Kemudian ia memilih mengantarku terlebih dahulu ke tempat ini. Dengan beberapa wejangan yang tak ingin aku ingat, aku bukan anak kecil.

Beberapa mahasiswi yang duduk di seberang meja yang bersisian dengan meja tempatku, beberapa kali mencuri pandang, entah ada maksud apa. Tapi, gelagat mereka yang seperti itu sungguh membuatku terganggu.

Menimbang-nimbang dengan baik, bagaimana jika aku melempar gelas yang masih terisi cokelat hangat ini ke atas lantai, sehingga atensi mereka beralih tak lagi tertuju padaku.

Aku tertawa ketika membayangkan hal tersebut, mereka pasti akan terkejut.

Dan mereka semakin terang-terangan memperhatikanku. Emosiku naik, kenapa mereka menatapku seperti itu.

Kutandaskan minuman hangat tersebut. Kemudian mengangkat gelas berlengan tersebut ke udara. Mengayunkannya, bersiap membanting.

"Delima."

Menoleh, ketika mendengar dan merasakan sebuah tangan mencekal lenganku.

Wajah Mas Rashda, basah oleh keringat, sedangkan dadanya naik turun dengan napas yang tidak beraturan. Dia berlari.

"Simpan, ya." Tangannya merayap, melepaskan cekalanku pada lengan gelas dengan lembut. "Jangan dilempar."

"Huh?" Kuperhatikan gelas berbahan melanin tersebut yang telah berpindah ke tempat semula, di atas meja.

Aku kembali menatap gelas tersebut, mengabaikan Mas Rashda yang terus menerus memanggil namaku. Tapi, kutajamkan pendengaran pada mereka yang berbisik-bisik.

Dan ketika satu kata yang begitu menyinggung terdengar, dengan cepat kuraih gelas itu kemudian melemparnya ke atas lantai. Menimbulkan suara bantingan yang begitu keras di tengah suasana kafetaria yang tidak terlalu ramai. Jelas saja, beberapa orang di ruangan itu menjerit, terkejut.

Lenganku ditarik kencang, hingga wajahku langsung berhadapan dengan wajah Mas Rashda yang berlutut menyamakan tinggi-ku yang tengah duduk.

Mas Rashda menangkup wajahku. "Lima lihat, Mas." Aku melengos. Dan Mas Rashda tetap mempertahankan tangannya di wajahku. "Lima lihat mata Mas," ucapnya tegas.

Kutatap balik kedua pasang mata berwarna hitam pekat itu, kemudian berteriak. "Mereka ngatain aku gila!" Aku berontak menepis tangan Mas Rashda kemudian menunjuk gerombolan mahasiswi itu yang sekarang mengkerut, mungkin takut. Ada rasa puas dan lega, ketika aku dapat mengeluarkan amarah yang aku rasakan. Kapan terakhir kali aku bisa menantang, membantah, dan berteriak seperti ini?

Ternyata menyenangkan menjadi orang yang bisa mengintimidasi.

Tatapan Mas Rashda mengikuti arah telunjukku. Dan pada saat itu juga, gerombolan Mahasiswi yang berjumlah lima orang itu, berdiri, dengan kepala menunduk.

"Mohon maaf Pak, kami tidak bermaksud seperti itu." Salah satu perempuan berkata, meminta maaf. Sepertinya mereka mengenal Mas Rashda, dan mengetahui bahwa Mas Rashda salah satu pengajar di kampus ini.

Remake ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang