Bab 36

10.7K 1K 14
                                    

"Iya," kedua tangan pria itu sibuk memasukan kancing di bagian depan kemeja biru yang ia kenakan. Sedangkan gawainya ia biarkan tergeletak begitu saja di atas meja kayu yang juga menopang cermin besar.

"Jadi, Mbak Lima udah dipindah ke ruang intermediate?"

"Hm," sahut Fahri datar, pada suara yang keluar dari gawai yang sengaja ia kencangkan volume-nya.

"Aku sama Papa mau jenguk ..." Suara perempuan itu menggantung, membuat Fahri menduga bahwa kalimatnya berhenti sampai di sana.

"Boleh," jawab Fahri langsung. Dia mulai memasukan kancing di bagian lengan.

"Sama ... Mama juga," lanjut suara perempuan di seberang sana, yang terdengar ragu dan gugup.

Seketika, rahang Fahri mengeras, pandangannya turun pada lantai, kemudian berujar dingin. "Nggak."

Hening sesaat, tak ada yang mau memulai kembali pembicaraan, setelah penolakan Fahri yang begitu tegas. Semilir angin yang lembut, masuk dari jendela kaca yang sengaja Fahri buka lebar-lebar, membuat gorden berwarna champagne meliuk pelan terkena sapuan angin.

Gadis itu mungkin ragu dan takut untuk melanjutkan obrolan. Sedangkan Fahri, dia sudah kehilangan selera untuk bercengkrama dengan adiknya setelah mendengar Mama-nya disebut. Oh, Fahri tidak benci, ia hanya kecewa, dan rasa kecewa ini masih menggumpal dalam dada.

"Bang Mama mau min—"

"Aya," sela Fahri dingin, seketika adik perempuan Fahri itu langsung terdiam. "Abang udah bilang nggak," Fahri menatap pantulan wajahnya sendiri di dalam cermin, ada kobaran api amarah yang masih saja terlihat di dalam bola mata sepekat malam itu, jika itu menyangkut kondisi sang istri.

Sebanyak apa pun ia berujar ikhlas terhadap kondisi Delima saat ini, tetapi masih ada amarah yang menggumpal dalam dada, jika diingatkan tentang orang-orang yang berpartisipasi membuat Delima bisa berada di keadaan seperti ini-menjadi pasien Rumah Sakit Jiwa. Tidak terkecuali kepada ibunya sendiri.

"Di keluarga kita hanya Papa dan Aya yang boleh, selain kalian, nggak." Tambah Fahri tegas, tanpa mau dibantah dan tanpa adanya kompromi.

"Hm, iya." Balas Naya pada akhirnya. "Kalo gitu, Insya Allah besok aku sama Papa mau jenguk Mbak Lima."

"Iya, kita bisa berangkat bareng, biar Abang jemput kalian," Fahri mencolek sedikit gel rambut, mengusapkan pada rambutnya yang sedikit basah.

"Eh, nggak, nggak perlu. Aku sama Papa aja, Abang berangkat sendiri, repot kalo bolak balik."

Gerakan Fahri yang tengah menyisiri rambut menggunakan jari-jari tangan, terhenti sesaat.

"Nggak repot, kok. Abang jemput, ya?" Nada Fahri kembali bersahabat, seperti sedia kala. Mengambil tisu, melap tangannya yang terasa lengket akibat gel rambut yang ia pakai tadi.

"Nggak apa-apa Bang. Aku berangkat berdua aja sama Papa, nggak apa-apa kok."

"Yakin?" Goda Fahri, pembicaraan ini mulai terasa normal, membuat suasana ceria terangkat lagi, dan membuat Naya kembali merasakan 'hidup' pada diri Kakak laki-lakinya. Karena beberapa bulan ini, Fahri seperti tak ada jiwanya. Lebur bersama kewarasan sang istri yang entah kapan kembali seperti semula.

"Yakin, Abang," jawab Naya manja, dia jadi tak sungkan untuk kembali bersikap manja pada Fahri, yang beberapa waktu lalu masih membentengi diri. "Kalo gitu aku tutup, ya," ucapnya. "Abang ngajar nggak hari ini?" Tapi masih lanjut melontarkan pertanyaan basa-basi.

Fahri terdiam sejenak. "Ngajar, nanti siang. Tapi, tetap berangkat pagi ini, ada yang harus Abang urus dulu. Kenapa?"

"Nggak. Ya, udah. Kalo gitu aku tutup, ya."

Remake ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang