Vanila meregangkan kedua tangan dengan menguap, wajah gadis itu kusut, rambut acak-acak 'an.
Gadis itu menyipitkan mata melirik alarm di atas nakas, jarum panjang menunjuk ke angka 9 sedang jarum pendek menunjuk ke angka 3, gadis itu mengusap wajah melepas kantuk yang bersarang di mulutnya. Ternyata sudah pukul 9 pagi, tumben pria itu tidak membangunkannya.
Vanila turun dari ranjang, berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan wajah.
Usai ke luar dari kamar mandi, rambut gadis itu sudah di kuncir satu, wajahnya masih setengah basah, pandangannya teralih dengan sebuah mangkuk berisi biskuit bersanding segelas susu putih di atas meja menghadap jendela, Vanila mengucek mata membenarkan penglihatannya. Tidak ada yang salah ia tetap melihat nampan ada mangkuk berisi biskuit dan segelas susu, sebelah kiri mangkuk terdapat dua papan obat.
Dalam batinnya ada pertanyaan yang timbul, pagi-pagi begini siapa yang menyiapkan sarapan untuk dirinya?
Vanila mengacuhkan kedua bahu, ia berjalan mendekati meja dan menarik kursi lalu duduk. Ada 3 note yang di taruh di bawah mangkuk.
Vanila mengambil note di bawa mangkuk. Note pertama berwarna kuning
'Jangan lupa minum obatmu, kemarin saya sudah konsul sama Dokter yang pernah merawatmu, jadi tenang saja obat itu bukan racun, saya bukan orang jahat.'Vanila kemudian menyelipkan note pertama ke belakang membaca note kedua berwarna biru muda,
'Kalau bosan ada cemilan di lemari dapur, kamu bisa nonton tv, remot dekat rak buku.'Vanila menyelipkan note berwarna biru itu, dan membaca note terakhir berwarna hijau, 'Tapi jangan lupa, tetap perhatikan pola istrahat, jangan banyak gerak!'
Denan juga mencantumkan nomor wanya pada lembaran kecil berwarna putih dan memberi kutipan agar Vanila mengirimkan pesan jika terjadi sesuatu.
"Om yang baik hati." Vanila tertawa kecil, "Coba aja kita seumuran, pasti ... ya ampun! Gue mikir apa coba?" ia menampar pipi kiri menyadarkan diri, jangan sampai dirinya tenggelam dalam lubang yang dibuat sendiri.
"Ingat tujuan lo Van, ke sini buat nunggu ayah lunasin utang-utangnya! Astaga, lama-lama gue selerenya sama om-om, ngga, nggak! Jangan sampai deh." Vanila menggeleng membayangkan semua itu. "Ih amit-amit."
Vanila menaruh catatan-catatan kecil itu di atas nampan, sambil menikmati satu keping biskuit diam-diam ia memperhatikan tulisan tangan Denan, Vanila menarik satu sudut bibir, "Tulisannya indah dan rapi, jadi insecure."
"Om itu multitalent banget sih, punya selera tinggi, tampan, orangnya rapi, wangi, perhatian lagi, istrinya untung banyak, tapi sayang harus hilang, kasihan." Sambil membayangkan semua itu ia membuka penutup dari gelas dan meminum susu dua teguk.
"Entah kenapa gue keinget kejadian di rumah sakit waktu itu."
Ia kembali mengunyah biskuit, mengulang memori di rumah sakit, saat pria bernama Denan itu langsung mencium keningnya tanpa angin tanpa hujan, lalu mengucapkan kalimat 'aku merindukanmu, Vanila.'
"Vanila? Iya dia nyebut nama gue, nggak mungkin gue salah denger."
"Tapi kenapa ya?"
Bukan hanya itu, Denan juga memeluknya seperti pelukan yang dimiliki dua orang yang begitu dekat, Vanila sungguh bingung, mengapa pikiran itu baru muncul sekarang.
Vanila meneguk segelas susu dan kembali menyipitkan mata, "Kalau gue nanya soal ini dia marah nggak sih?"
"Tapi kalau nggak nanya, gue penasaran mati-mati'an."
Vanila berdecak ia mengangkat kedua kaki ke atas kursi menyilangnya, "Nanya, nggak! Nanya, nggak!"
"Apa salahnya gue bertanya, itu hak gue, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Imamku Jenderal Tentara : Denan & Vanila
Hài hướcUsaha Denan-Jendral muda dalam mengembalikan cinta sang istri yang mengidap amnesia. Kekanak-kanak'an Vanila yang hanya mengingat dirinya ialah gadis remaja berusia 17 tahun, membuat Denan harus mendisplikan Vanila dengan berbagai aturan ketat. Ada...