Denan berdiri di luar bersama tujuh pria tegap, tak lama pintu terbuka nampak Shinta celingukan memastikan kondisi di luar aman, sebab tetangga sebelah suka risih dengan kehidupannya, jika ia membawa orang baru ke rumah.
"Kamu sudah dari tadi di situ?" Shinta berbisik.
"Baru aja datang, Bunda." Denan ikut berbisik.
Semenjak pernikahannya dengan Vanila berselang dua tahun, Admawija menyuruhnya mengganti panggilan 'Om' dan 'Tante' sehingga Denan sudah terbiasa memanggil Shinta dan Admawijaya dengan panggilan 'Ayah' dan 'Bunda' kata pasutri itu mereka sudah menganggap Denan anak.
Shinta melihat ke dalam untuk berjaga-jaga dari Vanila, di ruang tamu duduk Admawijaya sendirian bermain handphone, ia sudah bersiap dari tadi untuk memulai drama.
Shinta kembali menatap Denan, "Di dalam aman, kamu masuk."
Denan mengangguk kecil, ia memandu sekelompok pria berjaket hitam itu ikut masuk ke dalam.
Pria itu duduk berhadapan dengan Admawijaya sementara Shinta bersebelahan dengan sang suami.
Tak lama Bi Ina datang ikut bergabung menjadi bagian dari mereka, Shinta yang memanggil wanita paruh baya itu. Kemarin ia sudah menjelaskan semuanya prihal Vanila, dan apa yang harus dirahasiakan pada gadis itu, sehingga Bi Ina jadi lebih paham untuk melakukan apa yang harus ia lakukan.
Admawijaya memberi kode jempol pada Denan, sebagai isyarat memulainya, Denan mengangguk, ia menjentikkan jari lalu menunjuk ke dalam pada tujuh pria yang berdiri di sampingnya, "Ke luarkan beberapa perabot di rumah ini."
Tujuh pria itu mengangguk paham, mereka berjalan satu per satu masuk ke dalam, bersamaan dengan itu suara tapak sepatu menuruni anak tangga terdengar.
Shinta mengedipkan mata pada Denan, pria itu merespon dengan jari jempol disatukan dengan telunjuk membentuk 'o'
Vanila menghampiri Admawijaya, "Ayah kok barang-barang kita di bawa semua ke luar?" tanya gadis itu, matanya mengikuti ke mana arah pria berjaket hitam itu berjalan.
"Mau diganti yang baru yah?"
Admawijaya menggeleng, "Nggak, itu buat bayar utang yang udah nunggak."
"Utang?!" Vanila tertegun.
Admawijaya mengangguk.
"T–tapi sejak kapan Ayah punya utang." Vanila berjalan mundur.
"Ini pasti prank, kan?"
"Prank buat Vanila, iya, kan?"
Admawijaya kembali menggeleng.
Vanila mengenggam tangan Shinta, "Bunda. Ayah pasti cuma main-main, kan?"
Shinta tak merespon, ia hanya diam.
"Bunda? Ngomong dong."
Kini fokus gadis itu teralihkan dengan pria yang sejak tadi hanya bermain handphone, "Dia di sini ngapain?" tanya Vanila sinis, ditambah tatapan yang mengintimidasi.
Admawijaya menyuruh gadis itu untuk duduk dulu, ia akan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
"Namanya Denan, dia anak temen ayah. Dia ke sini, untuk menagih utang." Perjelas Admawijaya.
Vanila mengangguk satu kali, tatapannya kini beralih ke ke tujuh pria yang terus saja membawa hampir semua perabot rumah, "Ayah itu beneran? Semua barang-barang kita dibawa ke luar?"
"Iya, buat bayar utang, Nak. Ayah udah pasrah."
"Emang utang Ayah berapa banyak? Sampai segitunya."
Denan meletakkan handphone di samping, "Uang tunai senilai lima ratus juta, perluasan tanah, modal perusahaan sebesar dua miliar, dua tahun setelahnya uang tunai senilai dua ratus juta, semua itu sudah menunggak 8 tahun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Imamku Jenderal Tentara : Denan & Vanila
HumorUsaha Denan-Jendral muda dalam mengembalikan cinta sang istri yang mengidap amnesia. Kekanak-kanak'an Vanila yang hanya mengingat dirinya ialah gadis remaja berusia 17 tahun, membuat Denan harus mendisplikan Vanila dengan berbagai aturan ketat. Ada...