Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 00.43 dini hari. Harusnya di jam seperti sekarang ini, Giya wajib tidur agar pagi harinya ia bisa menyiapkan sarapan untuk Cello. Tapi karena ada satu hal yang mengganggu pikirannya, kelopak matanya enggan terpejam.
Mengenai pembicaraan Kio dengan Yara di meja makan tadi malam berhasil mengusiknya. Tentang Jian, hanya ada satu Jian yang ia kenal. Dan itu tidak salah lagi. Ia juga masih ingat persis siapa nama panjangnya.
Jika ia bisa membicarakan hal ini dengan Kio, sudah sejak tadi ia mengajak pria itu untuk berbincang. Sayangnya, masih ada keraguan untuk memberitahu Kio mengingat perusahaan pria itu tengah melakukan kerjasama. Bagaimana kalau setelah ia bilang, Kio justru membatalkan kerjasama tersebut? Atau yang lebih parahnya, Kio malah memberitahu Jian tentang keberadaannya?
Itu semua tidak boleh terjadi.
"Giya, lo harus bisa lebih santai, okey. Jian nggak mungkin tahu. Kalau pun nanti lo beritahu Kio soal ini, lo harus yakin kalau Kio juga nggak bakal setega itu buat ngasih tahu Jian soal keberadaan anak lo. Okeh? Sekarang lo mesti tidur, besok lo harus bangunin Cello buat berangkat ke sekolah," rentetan kalimat itu ditujukan untuk dirinya sendiri. Ia harus yakin setidaknya pada satu hal. Tidak akan terjadi apa-apa untuk besok. Semuanya akan berjalan seperti biasanya.
*****
Pagi ini Jian sudah bersiap dengan setelan jas kerjanya. Dengan sepasang sepatu yang mengkilap dan jam tangan mewah yang melingkar di pergelangan tangannya, Jian berjalan seraya memegang tas kerjanya menuju pintu keluar gedung apartemen.
Namun sialnya—Jian tidak yakin apakah ia bisa menyebut hal ini sial atau tidak—Qisya berdiri dengan kepala menunduk seperti memperhatikan telapak kakinya yang dibalut dengan stiletto kesayangan. Jujur, Jian masih enggan menemui istrinya, meskipun sudah berhari-hari semenjak ia keluar dari rumah.
"Kan, aku sudah bilang, tunggu aku yang nemuin kamu. Jangan ke sini,"
Qisya mengangkat kepala ketika ada suara bariton yang tepat menyapa di sampingnya. Senyumannya kian terpatri saat menemukan Jian menghampirinya di sini. Meskipun ia sedikit sedih karena Jian tidak begitu menyukai kedatangannya.
"Aku cuma mau tahu kabar kamu aja. Selama beberapa hari ini kamu nggak pernah balas chat aku, apalagi telepon aku. Aku tahu aku salah, tapi nggak harus kayak gini, kan?"
Jian menatap jam di tangannya, "kamu nggak kerja? sekarang udah hampir jam delapan. Bukannya kamu nggak bisa ninggalin kerjaan kamu? Kenapa sekarang malah ke sini?" sarkasnya dengan salah satu sudut bibir yang terangkat. Ia tahu mungkin ucapannya terlalu menyakitkan bagi sang istri. Sayangnya perasaan kesal masih saja bersemayam di dalam hatinya.
"Ji….plis, kasih aku kesempatan buat jelasin ini."
"Jelasin apa? Bukannya udah jelas kalau kamu nggak mau punya anak sama aku gara-gara pekerjaan kamu itu lebih penting? Mau sampai kapan?"