05. Halaman Baru

1.7K 251 10
                                    

Tangis haru seorang Giya dalam menyambut kelahiran sang buah hati membuat Awinta yang berada tak jauh darinya ikut tersenyum senang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tangis haru seorang Giya dalam menyambut kelahiran sang buah hati membuat Awinta yang berada tak jauh darinya ikut tersenyum senang. Tak menyangka bahwa sahabatnya sudah menjadi seorang ibu. Hanya saja satu yang disayangkan, tidak adanya sosok ayah atau suami yang mendampingi Giya dalam menghadapi babak baru dalam hidup perempuan itu.

"Gi, gue turut seneng atas lahirnya anak lo."

"Thanks, ya, Win. Lo mau nemenin gue selama di sini. Gue nggak nyangka, anak gue udah lahir aja. Perasaan kemaren gue masih ngidam buah mangga," ucap Giya sembari memperhatikan sang buah hati dalam gendongannya.

Acellio Diangga, dipanggil Celo adalah nama yang sudah lama Giya siapkan. Giya sangat bersyukur berkali-kali lipat atas kehadiran Cello. Ia yakin, Cello lah yang nantinya akan menjadi alasan kenapa Giya harus berjuang, bertahan, dan juga tersenyum. Untuk Celo, Giya harus bahagia.

"Mukanya kok nggak ada lo-nya sih, Gi?"

"Alisnya mirip gue," seru Giya tak terima.

Giya akui, hampir tidak ada kemiripan dalam paras Cello dengannya. Giya juga heran kenapa Cello sangat mirip dengan Jian. Mulai dari bibir, hidung, bahkan bentuk telinga, semuanya mirip seperti Jian. Mungkin ini adalah cara Tuhan supaya Giya tidak melupakan sosok Jian dalam hidupnya.

"Gi…"

"Hmm?"

"Lo mau sampai kapan ngerahasiain ini dari Jian?"

"Kita udah pernah ba—"

Kedatangan Kio membuat ucapan Giya terpotong. Pria itu lantas berjalan mendekati Giya tanpa memperdulikan apakah Awinta ada di sana atau tidak. Sikap tersebut membuat Awinta merasa sedih. Sebab ini sudah kesekian harinya Kio mengabaikannya. Hal itu  juga dirasakan oleh Giya. Bahkan suasana kamar inap pun terasa dingin.

"Kasih gue, Gi. Gue juga pengen gendong."

"Ki, lo nggak ma—"

"Gi."

"Okeh."

Melihat keengganan pada diri Kio membuat Awinta ingin segera berlalu dari hadapan mereka. Giya, perempuan itu juga bingung menempatkan posisinya. Sebab ini adalah kali pertamanya ia ada di situasi seperti ini. Dua orang itu sama-sama sahabatnya. Giya tidak mau terlihat membela salah satunya.

"Gi, gue balik dulu ya. Udah di telfon sama mama."

"Lo pulang naik apa?" ucap Giya sembari melirik Kio yang tengah tersenyum senang memperhatikan tubuh mungil Cello yang berada dalam gendongannya.

"Hmm, naik taxi kayaknya."

"Yaudah, kalau gitu hati-hati. Jangan lupa ngabarin pas udah sampai."

Selepas kepergian Awinta, Giya membenarkan duduknya agar terasa nyaman. "Ki, lain kali jangan gini. Gimana pun Awinta masih pacar lo. Kalau pun lo masih marah sama dia, seenggaknya lo anterin dia pulang. Ini udah hampir malem."

Not Yours ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang