08. Bentuk Keraguan

1.7K 224 5
                                    

⚠️Mature content⚠️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⚠️Mature content⚠️

‎      ‎   
“Giya, apa kabar?”

Hanya itu kalimat yang mampu diucapkan Jian saat pertama kali kembali bertemu dengan Giya. Ia bingung, karena dari banyaknya pertanyaan yang mungkin bisa ia lontarkan, Jian justru menyuarakan kalimat tersebut.

“Baik.”

Cello, anak laki-laki itu sudah duduk anteng di dalam pangkuan Giya sembari membawa secup ice krim—tanpa merasa terusik dengan kecanggungan yang diciptakan oleh dua orang dewasa tersebut.

“Saya kaget waktu tahu kalau yang saya tabrak itu anak kamu…. Hmm, dia sudah sebesar ini ternyata. Sekali lagi saya mohon maaf atas hal yang baru saja terjadi. Saya ngaku kalau saya salah.”

“Cello baik-baik saja. Jadi Bapak nggak perlu merasa bersalah.”

Tidak ada lagi kata yang sanggup Jian keluarkan. Ia sendiri bingung dengan situasi saat ini. Rupanya tidak bertemu dengan Giya selama kurun waktu empat tahun mampu membangun kecanggungan yang sangat luar biasa. Perempuan itu tidak jauh berbeda seperti terakhir kali mereka bertemu di acara pernikahannya. Hanya mata panda yang masih kentara meskipun tertutupi oleh sapuan makeup. 

Apa wanita ini bahagia?” ucap batinnya.

“Mama,” panggil Cello pelan.

“Kenapa, Sayang?”

“Papa jadi jemput kita, kan?”

“Jadi, dong. Papa lagi di jalan. Kamu sabar, ya. Kaki kamu masih sakit? Nanti mama obatin lagi di rumah.” Giya mengelus pelan surai anaknya itu dengan sayang. Menyaksikan perhatian kecil itu, membuat Jian sedikit terpengkur di tempatnya. Andai saja yang ia lihat ini istrinya, pasti ia akan sangat bahagia. Apalagi memiliki seorang anak yang sangat lucu seperti Cello.

“Bapak nggak balik?”

Jian terkesiap. “Saya nunggu sampai suami kamu datang.”

Semuanya kembali hening. Bahkan deru napas Jian bisa saja terdengar jika diperhatikan lebih teliti. Sementara Giya justru sibuk dengan Cello. Mengajak anak itu mengobrol hal-hal yang lucu. Sesekali Giya tersenyum saat mendapati Cello yang mengayun-ayunkan tangannya ke udara.

Oh Tuhan, bisakah Jian juga merasakan hal yang sama? Ia juga ingin bersenda gurau dengan anaknya kelak—jika diijinkan.

Selang beberapa lama, Kio datang dengan langkah yang terburu-buru sembari menenteng ponsel di tangannya. Senyum kelegaan mulai terbit ketika laki-laki itu mendapati Cello baik-baik saja berada dalam pangkuan Giya.

Kio masih belum menyadari ada sosok lain di antara mereka.

Sampai….

“Askio?”

Kio tak kalah terkejut. Ingatan yang menjadi puing-puing perlahan ia satukan untuk bisa kembali mengingat. Ia merasa de javu, seperti pernah berada dalam posisi yang sama. Bertiga—ia, Giya, dan Jian—sedang terlibat suatu obrolan ringan. Tapi Kio lupa kapan tepatnya.

Not Yours ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang