03. Not Yours

1.9K 268 11
                                    

Berdiri tepat di depan ruang milik Jian sembari memegang sebuah amplop coklat yang bertuliskan surat pengunduran diri, Giya masih berpikir untuk menyerahkannya sekarang atau di lain waktu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Berdiri tepat di depan ruang milik Jian sembari memegang sebuah amplop coklat yang bertuliskan surat pengunduran diri, Giya masih berpikir untuk menyerahkannya sekarang atau di lain waktu. Setelah merenung semalaman, akhirnya Giya memilih untuk mengambil jalan pintas alih-alih memberitahu Jian kalau saat ini ia tengah mengandung buah hatinya.

Ketika hendak mengetuk pintu, Sheril-teman kantornya-datang menginterupsi. "Ngapain lo bengong di sini?" Giya yang belum siap dengan kehadiran Sheril yang tiba-tiba, sempat terkejut. Dan setelah itu ia menormalkan kembali mimik wajahnya.

"Eh, Kak Sheril. Enggak, ini gue mau masuk kok. Kak Sheril sendiri mau ketemu sama Pak Jian?" tanya Giya sembari menyembunyikan amplop yang ia bawa.

"Iya nih. Mau nyerahin laporan yang sempet kena revisi. Gue masuk ya, lo nggak lagi buru-buru, kan?"

Sebagai jawaban, Giya hanya mengangguk dengan seulas senyum di kedua sudut bibirnya.

Sepeninggalan Sheril, Giya menghembuskan napas perlahan. Mungkin saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk memberikan surat pengunduran diri tersebut. Lagipula ada ketidakrelaan dari dalam dirinya ketika mengetahui fakta kalau ia akan pergi dari jangkauan Jian.

Giya sempat berpikir, apakah yang ia rasakan ini adalah perasaan tulus dari perempuan untuk laki-laki. Dan semakin jauh Giya memikirkan hal itu, ada satu kalimat yang juga muncul dalam isi kepalanya, "bukankah ini terlalu cepat?"

Sepanjang perjalanan pulang ke apartemen pun, Giya masih memikirkan hal yang sama. Tadi setelah ia kembali pada kubikelnya, Giya memutuskan untuk pulang lebih awal. Perempuan itu tidak menemui Jian untuk meminta ijin, ia hanya mengatakan pada teman kantornya yang lain jika sewaktu-waktu Jian menanyakan dimana keberadaannya. Sebenarnya hal ini tidak boleh dilakukan, karena bagaimana pun Jian adalah atasannya. Jadi Giya harus memberitahu atau meminta ijin terlebih dahulu kepada Jian. Jika tidak, Jian bisa saja marah kepadanya.

Setelah keluar dari lift dimana unitnya berada, ia menemukan Awinta yang sibuk menggerutu sembari meninju udara yang ada di hadapannya. Apalagi sebabnya kalau bukan Kio. Laki-laki itu diketahui belum sempat menemui kekasihnya dalam kurun waktu dua minggu.

"Awas aja ya lo Kio, gue jadiin pepes kalau sampe minggu ini nggak bis—eh, tumben lo jam segini udah balik. Gimana? Udah bilang, kan, soal kandungan lo ke cowok itu?" Awinta langsung merubah arah pembicaraannya saat mengetahui Giya datang menghampiri. Melihat ini pun, Giya tersenyum kecil. Merasa ajaib dengan tingkah sahabatnya itu.

Giya terdiam sejenak sebelum memberikan jawaban, "kayaknya gue nggak bakal bilang soal ini. Terlalu berisiko buat gue nantinya."

Awinta segera menarik Giya masuk ke dalam. Perempuan itu mendudukkan sahabatnya di kursi ruang tamu. Sungguh saat ini Awinta membutuhkan penjelasan lebih dari maksud perkataan Giya.

"Maksud lo berisiko?"

"Lo tau, kan, kalau Jian bukan sembarangan orang. Dia atasan gue. Kalau gue bilang apa yang sebenernya terjadi sama gue, gue yakin semuanya bakal berantakan. Gue tau Jian udah punya pasangan. Dan Lo bisa menduga sendiri kalau seandainya gue beneran bilang. Bukan cuma gue, tapi ada orang lain yang ikutan jadi korban."

Not Yours ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang