Bab III : Atlas

2.5K 271 80
                                    

"Jika ingin berpisah, maka ambil semua lahan yang dia miliki. Bukankah dia telah memberikannya padamu?" tanya Lonnie pada Arlo.

Sebagai jawaban, Arlo menggelengkan kepalanya. "Lahan itu adalah apa yang mereka miliki. Menurutmu kenapa ibuku tidak setuju padanya? Itu karena dia berasal dari kelas bangsawan paling rendah. Mereka tidak sekaya bangsawan lain."

Kepala Lonnie tertunduk. "Lalu bagaimana denganku? Ibumu pasti lebih tidak menyukaiku. Aku tidak berasal dari keluarga bangsawan."

"Kau berbeda dengan Ale."

"Di mana letak perbedaannya?"

"Aku menyukaimu, sedang aku tidak menyukainya."

Lonnie tersenyum senang. "Karena kau menyukaiku, jadi kau akan memperjuangkanku."

Arlo mengangguk pasti.

"Tapi aku serius, Arlo. Akan sangat bermanfaat jika kau bisa mengambil lahan botani mereka. Ini akan sangat mempengaruhi perusahaanmu. Mereka memiliki bahan obat-obatan terbaik."

Pernyataan Lonnie, Arlo mempertimbangkannya. Apa yang dikatakan kekasihnya memang ada benarnya. Meski berasal dari keluarga Baron, namun botani dari The Grayson Family memang tiada bandingannya di negeri ini. Jika Arlo bisa mendapatkannya . . . tidak hanya perusahaan farmasinya yang akan maju, namun perekonomian The Willson Family akan meningkat pesat. "Aku tidak tahu jika kau sepintar ini," ujarnya sembari mengusap kepala Lonnie.

"Tentu saja, aku kan kekasihmu." Lonnie memeluk Arlo.

Di sisi lain, Ale sibuk menyiapkan banyak hal. Air mandi hangat telah disiapkan, makanan yang ia masak sendiri juga sudah siap, kamar tidur Arlo yang hanya ditempati oleh suaminya sendiri juga telah ia tabur kelopak mawar, Ale telah siap. Lebih dari 2 bulan mereka menikah, tapi Arlo belum pernah menyentuhnya sama sekali. Tidakkah itu aneh? Ale tidak kekurangan apapun!

Ale tidak ingin percaya jika hatinya kalah selama ini.

Suara mobil kemudian terdengar, Ale segera berlari ke arah pintu. Dengan senyumannya yang indah, ia menyapa sang suami. "Bagaimana pekerjaanmu?" tanya Ale gelisah.

"Hm," dehem Arlo.

"Aku telah menyiapkan makan malam dan air panas untukmu. Kau ingin—"

"Aku sudah makan."

Ale terdiam sejenak. "Ok," jawabnya ringan setelah Arlo menghilang ke dalam kamar. "Paman, kau bisa membuang makan malam yang kubuat," perintah Ale pada Kepala Pelayan yang hanya diam menahan kesedihan untuk sang nyonya.

Setelah Arlo masuk ke kamarnya, ia berjengit kaget melihat kelopak mawar bertebaran di atas tempat tidurnya. Namun sedetik kemudian, ia tertawa mencemooh. "Ingin menggodaku?" Lalu masuk ke dalam kamar mandi.

15 menit Arlo menghabiskan waktu di kamar mandi, ia lalu keluar dengan pakaian tidurnya. Akan tetapi, langkah kakinya harus terhenti begitu melihat Ale telah duduk di ranjangnya. Dua kancing piyama teratasnya terbuka, seluruh kamar dipenuhi aroma feromon manis yang kuat.

"Kita telah bersama selama lebih 2 bulan, waktunya kita melangkah lebih jauh." Ale sangat gugup. Ia tidak mengerti kenapa dirinya harus berubah seperti ini. Agaknya, ia merasa jika dirinya seperti pel—

"Pelacur."

" . . . "

" . . . "

Mata bulat Ale terangkat, ia berhenti mengeluarkan feromonnya. Fokusnya hanya kepada sang suami yang baru saja berkata kasar padanya. "Aku?" tanya Ale tidak percaya.

"Hm. Kau pelacur."

Berbagai hal yang ditampilkan oleh kamera tersembunyi yang dikirimkan oleh Mies membuat Ale benar-benar tertampar bekali-kali. "Kita telah menikah, Arlo," ujarnya sayu.

AAATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang