Berlari.
Mencari.
Arti dari perjalanan ini.
Sekencang mungkin.
Segila mungkin.
Tak peduli dengan batasan.
Lelah tak kurasakan.
Ketakutan ini tak kuhiraukan.
Terus memacu langkah kaki.
Melalui ruangan mencekam ini.
Puing-puing berserakan kulalui.
Debu-debu beterbangan oleh hantaman kaki ini.
Lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah, lelah.
Jiwa ini lelah.
Hasrat hidup memudar.
Kacau.
Melemah.
Pikiran perlahan kosong.
Entah sejak kapan aku terus berlari dengan menutup mata ini.
"!!!"
"Ukh–"
Kudapati tubuhku tersungkur di permukaan. Tersandung oleh puing besar tak terlihat.
Berlutut.
Pasrah.
Putus asa.
Tidak mengerti.
"Tch"
Suara jeritan bak orang tak waras keluar dariku yang merasa tak berdaya.
Meski kutahu ini tak akan berguna.
Melampiaskan.
Meratapi situasi gila ini.
"Ugh!!.."
Dadaku seketika terasa begitu sesak oleh detak jantung yang berdetak kuat dan tak beraturan.
Tak kusangka efek dari terlalu memaksakan untuk berlari akan seperti ini.
'00000 k00000a000u0'
"!?"
Terkagetkan dengan munculnya sebuah suara yang tiba-tiba.
Suara yang begitu misterius dan juga tak pernah kudengar. Begitu tidak jelas dan samar-samar sampai hanya bisa mendengar kata terakhir yang diucapkannya.
"Kau?"
"–"
Mendengar kata itu membuatku tersadar hal terpenting, hal mendasar, hal paling utama yang kulupakan.
"–Siapa... aku?"
Bahkan tak sempat untuk memikirkan identitasku, tiba-tiba tubuhku diterjang oleh angin yang muncul dari segala penjuru arah.
"I00ng0a000tl0000a0000h00–"
"Ap–?!"
'....... bereskan ruang ...., ...... meninggal–'
'Aku perlahan-lahan muak dengan .....!!!'
'Kumohon, tolong jangan perlihatkan lagi padaku..'
Ditengah terpaan badai, aku menyadari bahwa ini bukanlah sekedar amukan angin biasa. Setiap terpaan angin merupakan kumpulan kata-kata yang berhubungan dengan suatu memori. Memaksaku untuk mengingat semuanya.
'..... bersumpah akan ..... dunia ini!!!'
Ambisi.
'...... buruan shalat ghaib, tinggal kamu yang belum'
Kebingungan ditengah letih.
'Ha...ahahahaha ..... berhasil menembak bajingan-bajingan itu!–'
Kepuasan.
'Kawan-..... minta doanya, ..... meninggal barusan'
Mengabaikan.
'Aku tahu tolol!!!'
Kejengkelan.
'Apakah mereka memang pantas diselamatkan?'
Keraguan.
'.... pada akhirnya sendiri, mereka semua pergi–'
Kesepian.
'Kenapa aku tak boleh membalas mereka?!'
Pertanyaan.
'Aku ingin kembali–'
Penyadaran.
'Maaf baru jawab ..., .... sibuk ngurusin pemakaman.....'
Tak terduga.
'..... mati, kenapa tidak kalian lepaskan....?'
Kepolosan.
'Entah bagaimana caranya ...... harus kudapatkan'
Tujuan samar.
'Apa jadinya jika kupilih ......?'
Penyesalan.
'Akan kupastikan ..... mereka!!!'
Emosi yang meluap.
'..... ...... ..tikam mereka SEMUA!!!'
Puncak.
Berusaha mati-matian menjaga pikiran tetap waras ditengah arus badai memori ini. Serangan demi serangan membuat ingatanku perlahan kembali. Hanya beberapa dari sekian memori yang bisa kutangkap.
'Hei .m.r itu ganteng ya.'
Pernyataan yang tak disangka.
"!!!"
Kata-kata atau tepatnya angin memori barusan akhirnya membuatku menyadari identitasku yang sebenarnya.
"Na..namaaaku ad..aalahh–"
Disaat akan mengucapkan namaku, seluruh ruangan tiba-tiba bergetar hebat. Seperti suara ledakan peledak, gempa, guntur, atau sejenisnya yang tercampur.
"Uaagkhhh–"
Meskipun berusaha sekuat mungkin menggerakkan tubuh ditengah ancaman kehancuran tempat ini, kumpulan angin ini tetap tak mau melepaskanku.
Seluruh bangunan berguncang.
Gemuruh kehancuran.
TEROR.
Tak berdaya.
Kepala ini terasa bisa pecah kapan saja karena sudah tak kuasa menahan beban dari memori yang dibawa sang badai yang memaksa memasuki otak.
Luka.
Tubuh ini tiada henti mengucurkan cairan merah segar disebabkan tersayat-sayat oleh kencangnya angin tak tentu arah ini.
Kututup mata ini untuk melarikan diri dari kenyataan. Berharap ini semua cepat berakhir.
Tapi jika terus kututup, mungkin aku akan melewatkan sesuatu yang penting dan menyesalinya.
Namun ketika membuka mataku, yang kudapati hanyalah tempat ini sudah diambang kehancuran total setelah sebelumnya terdengar suara keras.
Badai memori masih tetap menyerang dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, malahan semakin lama menjadi semakin menggila.
Langit-langit bangunan berjatuhan.
Terlintas dipikiran kalau riwayatku akan berakhir karena akan dihantam oleh material besar yang sebelumnya adalah langit-langit yang menutup atas ruangan ini. Akan tetapi sebelum akan terhantam, lantai yang kupijaki hancur tak bersisa dan merambat ke seluruh penjuru ruangan ini.
Kehancuran tersebut membuatku terjatuh ke dalam kegelapan dan tak sadarkan diri seketika.
YOU ARE READING
Deep Dive
Short StorySudahkah engkau memahami apa arti dari perjalanan panjang itu?