BAB | 08

126 9 0
                                    


"She was a poem that he always read silently"

"She was a poem that he always read silently"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"TERMASUK cinta? "

Sekujur tubuh Rainier mengeras. Suasana hening menyerbu diantara keduanya. Deruan angin kencang menampar halus kulit mereka.

Empat pasang mata yang mencerlung antara satu sama lain itu bagaikan satu perbualan yang tak dapat diutarakan dalam bentuk suara.

Beberapa saat, Rainier menjatuhkan tangannya dari bahu Iris sembari mata tidak lepas dari terus merenung wajah wanita itu.

Rainier tidak tahu harus berfikir apa saat orang yang dicintainya ini sedang menyoalkan perasaan tersebut.

"Tiada kata..."

Itu yang Rainier balas. Dan Iris sedikit diulit rasa kecewa walaupun dari awal dia tidak pernah meletakkan harapan tinggi.

Dia melihat lelaki itu tertunduk. Jadi yang dimaksudkan dengan "terlalu banyak" itu tiada cinta dalam salah satunya. Lelaki ini bisa memaksakan dirinya untuk sebuah pernikahan walaupun tanpa ada cinta?

"Oh jadi.. "

"Tuan Putera!"

Seorang pengawal datang mendekati mereka. Rainier dan Iris masing-masing terus fokus kearah pengawal itu. Dari jauh langkahnya kelihatan sangat kelam-kabut.

"Maafkan patik kerana telah mengganggu Tuan Putera bersama Puteri Iris. "

Termengah-mengah suara pengawal itu berbicara. Jantungnya laju mengepam akibat dari lariannya yang terburu-buru itu.

Rainier yang melihat situasi pengawal itu sudah cukup yakin, berita yang bakal disampaikan pasti sesuatu yang penting.

"Cepat katakan tujuan kau datang kesini. "

Rainier menyoal tegas. Iris hanya memerhati keadaan. Dia juga agak berdebar menanti ucapan selanjutnya dari pengawal itu.

"Raja Harquin dan Permaisuri Venna memerintahkan Tuan Putera agar bersemuka dengan mereka didalam dewan utama sekarang juga. "

Kata pengawal itu dengan nafas yang tercungap.

"Tuan Putera juga diminta untuk membawa Puteri Iris ikut bersama. "

Sambungnya lagi. Iris yang setelah mendengarkan itu menelan air liur. Perasaan gementar menerpah dirinya sebaik saja namanya dipetik.

Iris memandang Rainier. Dapat dia lihat rahang lelaki itu bergerak-gerak seakan cuba menahan amarah. Jelas terpampang urat-urat biru yang timbul dilehernya.

"Baik. Kau boleh pergi sekarang. "

Dingin suara Rainier membalas. Pengawal itu membungkuk memberi hormat. Tapi dia kelihatan seperti masih punya sesuatu untuk disampaikan

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 06 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

MONACO PRINCEWhere stories live. Discover now