Anak kecil berusia empat tahun, tidak semuanya mampu memahami maksud dari perkataan orang dewasa. Satu hal yang perlu aku syukuri saat ini, Hilmi tidak bersedih dengan kalimat penolakan Mas Gusti, karena Hilmi saat itu bersin sebanyak tiga kali. Memang seperti itu jika pagi, Hilmi alergi udara pagi, walau pagi tidak mendung sekali pun.
Anak kecil itu kini menatapku dengan heran. Masih sambil mengucek kedua matanya. Aku tersenyum, lalu berjalan untuk menutup pintu rumah, setelah memastikan Mas Gusti keluar dari rumah Pak Desta.
"Halo, saya Teh Rani, pembantunya Om Desta. Nama kamu siapa ganteng?" tanyaku sambil berjongkok, mensejajarkan tubuh dengan Hilmi.
"Hilmi, Teh." Anak kecil itu tersenyum. Lalu menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Hilmi mau sarapan dulu atau mau mandi dulu?" tanyaku pada Hilmi yang saat ini menatapku dengan intens. Semoga saja ia tidak mengenaliku.
"Hilmi mau libur sekolah boleh gak, Teh?" aku terkejut mendengar perkataan Hilmi.
"Memangnya kenapa mau libur?"
"Mau cari Bunda dan dedek bayi sama cari Teh Zia. Orang-orang pada pergi semua, Hilmi gak ada teman." Wajah lelaki kecil itu pun mulai terlihat murung. Sekuat tenaga aku menahan air mata agar tidak menangis di depan Hilmi. Ia pasti akan sangat bingung melihat orang yang baru ia kenal menangis di depannya.
"Teh Zia mungkin sedang ada urusan, Hilmi. Kalau Bunda dan dedek bayi, mungkin sedang diperiksa dokter, makanya tidak di rumah. Hilmi sama Teh Rani saja ya. Teteh yang akan temani Hilmi selagi papa Hilmi kerja, bagaimana?" lelaki kecil itu pun mengangguk setuju.
"Hilmi mau mandi saja." Mungkin karena ia sudah tahu seluk beluk rumah om-nya, maka kedua kaki Hilmi langsung melangkah masuk kamar mandi. Suara riang terdengar dari dalam saat Hilmi menyalakan shower dan bermain sabun di dalamnya.
"Hilmi, Teteh buatkan roti bakar coklat ya," kataku di balik pintu kamar mandi.
"Mau, itukan sarapan kesukaan Hilmi."
"Oke, Teteh di dapur ya. Jangan lupa sikat gigi dan jangan buang-buang sabun mandi!"
"Iya, Teteh Zia... eh, maksudnya Teh Rani. Teteh sama dengan Teteh Zia, suka ngomel, Hilmi jangan buang-buang sabun mandi!" Aku menutup mulut hendak tertawa. Hilmi anak yang cerdas. Ia ingat kalimat yang sering aku lontarkan saat ia mandi yang sangat lama di kamar mandi. Aku pun lupa, harusnya aku saat ini benar-benar berakting sebagai orang lain. Bukannya malah tetap berbicara seperti Teteh Zia yang dulu selalu menemaninya.
Selagi menunggu Hilmi mandi, aku pun membuatkan roti bakar dan juga segelas teh. Nanti, saat aku ke warung, aku akan membelikan susu yang biasa Hilmi minum. Aku rasa, Pak Desta tidak keberatan saat aku mengeluarkan sebagian kecil uang belanja; membeli susu untuk Hilmi.
"Teh Rani, Hilmi sudah selesai!" Teriaknya dari dalam kamar mandi. Aku pun bergegas untuk mengambilkan handuk, lalu membantunya memakai seragam sekolah.
Hilmi sarapan dengan lahap, setelah aku beres menyisir rambutnya dengan model belah samping yang sangat klimis. Lalu, dengan penuh semangat, aku mengantarkan Hilmi ke sekolah dengan motor matic milik Pak Desta.
"Teh Rani kok tahu sekolah Hilmi?" tanya anak kecil itu saat motor berhenti di depan gerbang sekolah.
"Oh, itu, Teteh baca alamat yang diberikan papa Hilmi tadi." Aku mengangguk sambil tersenyum.
"Oh, gitu, lewat jalan pintas juga? Wah, Teteh hebat bisa tahu segalanya," puji Hilmi tulus, layaknya seorang anak yang terkagum-kagum dengan kepintaran seseorang.
Lagi-lagi otakku yang seadanya ini melakukan kesalahan, karena ingin segera sampai di sekolah, aku langsung menggunakan rute jalan sebagaimana biasa aku mengantar Hilmi. Padahal, bisa saja aku pura-pura tidak tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sejati Suamiku
RomanceMas Gusti masih mengurung diri di kamar setelah kami semua pulang dari pemakaman Mbak Hanin. Tulang rusuk lelaki itu telah pergi untuk selamanya, membawa buah cinta yang sudah dua belas tahun mereka nantikan. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari se...