"Gusti, kamu dipanggil mama!" Suara Pak Mus membuat dua lelaki dewasa menoleh serentak ke arah pagar. Kening Desta mengerut saat memperhatikan wajah papanya yang seperti menahan marah. Rahang pria dewasa itu mengeras dan menatap dua putranya dengan begitu lekat.
"Saya juga dipanggil gak, Pa?" tanya Desta yang ikut berdiri juga.
"Nggak, ini khusus urusan duda nyeleneh kayak mas kamu ini! Udah, cepat, Gusti, keburu rumah kamu dibakar mama!"
"Waduh, rumah siapa yang kebakaran?" sela Rani alias Zia yang datang sambil memegang sapu.
"Sebentar, saya ambil ember! "
"Rani, apa yang mau kamu lakukan?" tanya Desta sambil menahan tawa.
"Ambil ember bantuin memadamkan api beneran kan? Kalau api asmara saya gak tahu cara memadamkannya, hi hi hi.... " Rani melirik Gusti dengan sengaja. Ia memainkan bibir sambil menggigit manja di depan Gusti yang mencebik."Gusti, cepat!" Pekik Pak Mus tak sabar. Gusti berbalik, lalu berjalan ke arah pagar.
"Kuy, Pak Desta, kita bantuin padamkan api!"
"Ya ampun, Rani, kamu ini pecicilan banget. Udah, gak usah ngurusin api suami kamu itu! Mandikan saja Hilmi, karena mau dibawa mama pergi. Mandi dan makan." Desta menahan tangan Rani yang hendak berlari membawa ember menyusul suaminya.
"Oh, jadi biarin aja terbakar gitu rumahnya? Kasihan banget loh, Pak. Mas Gusti KPR rumah itu terseok-seok. Masa dibakar?" Desta menarik napas panjang. Jika bukan kakak ipar jadi-jadiannya, sudah ia pecat wanita cerewet dan pecicilan seperti Rani.
"Bukan rumah yang terbakar, Rani, tapi sampah. Udah, sana, kamu gak perlu khawatir."
"O." Mulut wanita itu membentuk huruf 'O' sembari mengangguk pada Desta. Ia pun masuk kembali ke dalam rumah, untuk menyiapkan sarapan. Hilmi sudah ia mandikan pagi-pagi tadi, karena memang Hilmi mengompol.
Di rumahnya, Gusti disidang oleh kedua orang tuanya. Bu Nadia melipat tangan di dada dengan wajah horor, sedangkan Pak Mus memegang kemeja biru milik putranya. Tangan kanan kemeja, tangan kiri sempak. Bukan di ruang tamu atau di ruang tengah Gusti disidang, melainkan di kamar pria itu yang masih amat berantakan.
"Katakan, itu celana dalam siapa?" tanya Bu Nadia sambil menunjuk tangan kiri suaminya.
"Saya, Ma," jawab Gusti jujur.
"Kenapa bau muntah kucing? Kucing apa manusia?" Gusti merapatkan bibirnya agar tidak terbahak. Terkadang ibunya memang lucu dan menggemaskan, terkadang juga amat mengerikan.
"Kucing, Ma," jawab Gusti masih menunduk.
"Kucingnya duda?" tanya Bu Nadia lagi dega serius. Pak Mus mati-matian menahan tawa.
"Gak tahu, Ma, iya kali," jawab Gusti seadanya.
"Kenapa bisa kucing muntah di sempak kamu? Tepat di bagian sajam pula. Apa kucing itu sengaja mau nyantet kamu? Kucingnya betina?" cecar Bu Nadia semakin emosi. Gusti masih saja bungkam, padahal ia tahu arah pertanyaan mamanya dan ia juga tahu ini petaka baginya.
"Ma, bicara yang benar dong, kucinglah, muntah lah, sajamlah. Dah, Gusti, kamu baru saja begal perawannya siapa? Hah!" Sela Pak Mus tak sabar. Gusti menelan ludah karena takut, sekaligus gugup tidak mampu menjawab.
"Begal perawan bagaimana, Pa? Papa dan Mama itu salah paham. Itu-tu ceritanya saya mau masukin celana ke dalam keranjang cucian kotor. Terus ada kucing tetangga muntah, jadi karena gak nemu kain lap, saya gunakan celana dalam saya."
"Terus, kucing itu bagaimana keadaannya sekarang? Hamil gak, karena kena celana dalam kamu?" sambung Bu Nadia yah sewot. Gusti tidak bisa menahan tawanya lagi. Mamanya terlalu komedi jika sedang menginterogasi seseorang. Bahkan sejak ia SMP, pasti saja ia tertawa saat disidang oleh mamanya.
"Ish, ya, nggaklah," sanggah Gusti sambil menggeleng.
"Kalau gitu, Siap-siap kamu yang hamil. Duh, Gusti, jujur saja kenapa? Kamu masih dalam suasana berkabung. Hanin baru meninggal dua hari dan kamu malah bergoyang di atas kucing, eh, di atas wanita! Gusti, kalau kamu memang gak bisa menahan hasrat, kenapa kamu tidak ke penjara saja, di sana ada Zia istri kamu yang halal untuk kamu tiduri. Bukan seperti ini, Gusti. Ya ampun, bagaimana kalau wanita yang kamu tiduri hamil? Ditambah kamu minum alkohol, mabuk-mabukan. Pasti kamu tidak sadar melakukannya. Kalau tiba-tiba wanita itu minta pertanggung jawaban kamu bagaimana?"
"Ma, Gusti tidak tidur dengan siapapun, Gusti sangat mencintai Hanin, Ma." Sempak itu hanya karena muntah kucing. Bukan muntah sih, gumoh gitu putih," terang Gusti salah tingkah.
"Putih atau krem?"
"Gak jelas, Pa. Udah, ah, saya mau mandi, mau berangkat kerja." Gusti pun bangun dari duduknya, tetapi lengannya cepat ditahan oleh Pak Mus.
"Terus ini apa?" Pak Mus bertanya sambil mengangkat kemeja kerja putranya, tepat di bagian punggung. Bola mata Gusti membesar karena ia baru tahu ada bercak darah keperawanan Rani di sana."Ini darah apa dan darah siapa? Kamu mau bilang ini darah nyamuk yang masih perawan?" Pak Mus melemparkan kemeja itu ke wajah anaknya. Ia sudah terperangkap. Mau bilang darah nyamuk, pasti gak mungkin, mau bilang darah cicak lebih gak mungkin. Lalu darah apa ya?
"Saya mimisan, Pa," jawab Gusti reflek. Bu Nadia dan Pak Mus tertawa cekikikan mendengar jawaban anak mereka yang mengada-ngada.
"Kamu lahir dari perut Mama. Mama yang urus sampai kamu besar dan kamu belum pernah mimisan. Hanin pun tidak pernah cerita kalau kamu sakit mimisan atau sakit lainnya. Malah menurut pengakuan Hanin, kamu itu pria paling kuat di muka bumi karena tidak pernah sakit sama sekali. Di ranjang juga katanya pernah dua jam tanpa henti. Terus, sekarang, saat Hanin udah gak ada, kamu bilang kamu mimisan? Sudah, jangan banyak alasan Gusti. Katakan siapa wanita yang sudah kamu ambil keperawanannya? Katakan pada Mama, biar Mama melamar pada orang tuanya. Setelah empat puluh hari peringatan Hanin, maka kamu akan Mama nikahkan dengan wanita itu."
"Ma, maafin, Gusti... Gusti mau jujur, Gusti meniduri wanita malam, Ma, karena pengaruh alkohol. Bukan karena Gusti tidak cinta dengan Hanin."
"Terus, wanita malam itu masih perawan? Memangnya kamu CEO yang bisa bayar wanita malam masih perawan? Berapa gaji kamu sampai kamu nekat tidur dengan pelacur yang perawan?" Gusti kembali bungkam. Ia tahu tidak mudah berkelit dari mamanya, karena wanita paruh baya di depannya ini sangat cerdas.
"Memangnya Mama kamu ini gak tahu harga pelacur malam yang masih perawan? Mama juga pernah muda, Gusti. Lebih baik uangnya buat bayar cicilan rumah kamu ini, daripada buat bayar pelacur. Apalagi kamu masih punya stok istri di penjara. Sudah, begini saja, besok kita ke kantor polisi dan minta Zia kembali ke sini!"
"Jangan, Ma! Gak mau, Gusti sudah gak mau sama Zia lagi. Nanti Gusti pasti ke kantor polisi untuk menceraikan Zia, tapi tidak sekarang." Tanpa disadari oleh semua orang yang ada di kamar itu, Rani alias Zia sudah mendengar semua perdebatan ibu, anak, dan ayah di sana sambil memegang ember.
"Oke, Mas Gusti, kalau memang kamu gak bisa menerima Zia sebagai istri, maka kamu akan bikin bucin gila pada Rani." Batin Zia sambil mengepalkan tangan. Zia tidak tahu saja, Desta pun ikut menguping, tetapi di belakang Zia, tepatnya di balik nakas.
"Rani, sini!" Rani terlonjak kaget saat mendengar Desta memanggilnya dengan berbisik. Wanita itu berjalan menghampiri majikannya. Desta menarik tangan Rani hingga mereka keluar dari rumah Gusti.
"Ada apa, Pak? Bukannya tadi udah berangkat?" tanya Rani heran.
"Ck, sekarang kamu yang harus jujur sama aku. Kamu wanita yang tidur sama Gusti? Hem?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sejati Suamiku
RomanceMas Gusti masih mengurung diri di kamar setelah kami semua pulang dari pemakaman Mbak Hanin. Tulang rusuk lelaki itu telah pergi untuk selamanya, membawa buah cinta yang sudah dua belas tahun mereka nantikan. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari se...