Tidak akan ada yang bisa menandingi tenaga pria yang telah dikuasai oleh alkohol. Tenaga dua wanita, bahkan mungkin tiga orang wanita sekali pun, tetap tidak akan mampu menahan kuatnya cengkeraman dan tarikan kuat pria dalam keadaan mabuk berat.
Memang Mas Gusti suamiku, tetapi ia tidak tahu, bahwa yang saat ini ia ciumi habis-habisan tubuhnya adalah aku. Jika saja ia tahu bahwa wanita yang sibuk ia lucuti pakaiannya ini adalah Zia, mungkin saja Mas Gusti akan pingsan. Mengingat betapa ia membenciku.
"Pak, lepas!" Kembali sekuat tenaga aku mendorong tubuhnya, tetapi tidak bisa. Kedua tanganku ditarik ke atas hingga berada di atas kepala. Ia tahan dengan kedua tangannya dan tangan satunya lagi terus saja menggodaku.
Air mata sudah tidak terbendung. Aku takut dengan Mas Gusti, walau ia suamiku. Tenggorokan ini pun bagaikan ditimpa baru besar, sehingga tidak mampu berteriak berhenti.
"Hanin, kenapa menangis, aku suami kamu? Aku belum melakukan apa-apa, baru mencium saja, kenapa sudah menangis? Apa mau aku buat benar-benar menangis nikmat? Hem!" Setelah kalimat itu, ia membungkam mulutku dengan mulutnya.
Sungguh ajaib, rambut palsu ini tidak terlepas sama sekali, padahal sesekali ia menarik rambutku, membelai perlahan, lalu menarik kembali seperti tengah gemas.
Aku sudah tidak bertenaga untuk melawan dan hanya bisa pasrah saat Mas Gusti mengambil harga diriku, mahkota yang selama ini kujaga dan kuniatkan memang untuk suamiku, tetapi bukan seperti ini caranya.
"Sakit, berhenti!" Pekikku dengan suara amat mengerikan, tetapi pria itu terus saja menuntaskan hasratnya hingga tubuh kami berdua berpeluh.
Aku kembali menangis di tengah lemas dan tidak berdayanya tubuh ini. Setelah semua keinginannya tercapai, pria itu pun terjatuh di sampingku dan tidak sadarkan diri.
Bercak darah pekat ada di seprei putih kamarku. Dada ini rasanya begitu sesak mendapati kehormatanku direnggut pria yang sangat membenciku. Dengan tertatih dan terseret-seret, aku berjalan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku harus cepat karena Hilmi sebentar lagi pulang sekolah dan aku harus mengantar makan siang untuk Pak Desta yang bahkan belum selesai aku masak.
Mas Gusti masih terlelap. Tubuh polosnya aku tutupi selimut, sebelum aku keluar dari kamar. Kubawa saja box bekal untuk Pak Desta dan mungkin akan membeli lauk matang saja di jalan.
"Aduh!" Pekikku saat naik ke atas motor dengan sedikit mengangkang. Air mata kembali menetes menahan sakit, tetapi aku tidak bisa berbuat apapun selain menerima rasa sakit ini. Mesin motor aku nyalakan, lalu segera pergi dari sana.
Tangan ini gemetar memegang setir motor kanan dan kiri, begitu juga dengan kedua kaki yang bergetar dengan tulang paha yang begitu kaku dan tidak bisa kulukiskan bagaimana keadaanku saat ini.
Hilmi ternyata baru keluar kelas saat aku sampai di depan sekolahnya. Anak tampan itu langsung mengenaliku dengan melambaikan tangan. Salah seorang guru yang kutahu bernama Bu Ami, berjalan mengikuti Hilmi ke arahku.
"Permisi, Mbak barunya Hilmi ya?" sapa Bu Ami sambil memperhatikan wajahku dengan seksama.
"I-iya, Bu, saya Rani, saya pembantu dari om-nya, Hilmi yang tinggal di sebelah rumah orang tua Hilmi. Mulai sekarang, saya yang antar jemput ya, Bu," kataku mengonfirmasi beliau. Bu Ami tersenyum sambil mengangguk.
"Harusnya, kalau masih berduka, Hilmi di rumah dulu saja tiga hari, Mbak. Sedih banget pastinya dengan meninggalnya bunda dari Hilmi dan sekarang masih sangat repot untuk tahlilan'kan?" kata Bu Ami bersimpati sambil mengusap kepala Hilmi dengan lembut. Ya, memang Bu Ami adalah wali kelas Hilmi yang sering berkomunikasi dengan Mbak Hanin. Pasti beliau pun cukup kaget dengan kepergian Mbak Hanin dan bayinya, meninggalkan Hilmi yang masih sangat kecil.
Saat Mbak Hanin meninggal, semua guru tempat Hilmi sekolah datang ber takziah dan mengucapkan doa belasungkawa untuk Mbak Hanin, serta menguatkan Hilmi.
"Teh Rani, kenapa melamun? Ayo, jalan! Katanya mau antar makan siang Om Desta!" Seru Hilmi menyadarkanku dari lamunan. Ternyata Bu Ami sudah kembali ke kelas. Aku pun memakaikan Hilmi helem kecil yang ada di depan teras rumah Mas Gusti, yang tadi sempat kuambil.
Nah, sekarang tugasku adalah pergi mencari warung makan yang kiranya enak. Langganan Mbak Hanin mungkin cocok di lidah Pak Desta. Aku pun melakukan motor menuju warung sayuran lauk matang langganan Mbak Hanin.
"Teteh, mau makan ayam chicken," ujar Hilmi sambil menunjuk restoran cepat saji yang akan kami lalui.
"Boleh, tapi makannya harus habis ya?"
"Oke, Teteh Rani." Aku pun membelokkan motor masuk ke dalam area restoran tersebut. Lalu mengantre memesan ayam dan nasi sesuai keinginan Hilmi. Tunggu, kenapa Pak Desta tidak aku belikan daging teriyaki saja? Bukankah di rumah ada daging yang bisa kuolah seperti Teriyaki untuk menu sore nanti?
"Mbak, beli teriyakinya saja dan nasi ya." Aku pun memesan makan siang Pak Desta dan juga membeli ayam untuk. Hilmi. Setelah itu, aku mampir di tukang buah potong untuk membeli pepaya yang juga dimasukkan ke dalam wadah box bekal yang bersekat itu.
Setelah semua aman, aku pun pergi menuju toko bangunan, tempat usaha Pak Desta. Begitu aku sampai di sana dan bertemu dengan Pak Desta, pria itu tidak berhenti menatapku dengan aneh.
"Kamu gak papa, Rani?" tanyanya.
"Gak papa, Pak, saya hanya tadi sempat terpeleset di kamar mandi karena licin. Saya belum sempat sikat kemarin. Mohon maaf saya jadi gak bisa masak banyak menu, Pak," alasanku berbohong. Pak Desta masih terus memperhatikanku. Mungkin saja ia aneh melihatku yang tadi berjalan seperti robot.
"Apa perlu saya panggil tukang urut?" tanyanya lagi.
"Gak papa, Pak, saya oleskan minyak but-but untuk pereda nyeri. Kalau gitu saya pulang ya, Pak, kasihan Hilmi panas-panasan." Aku pun berlalu dari hadapan Pak Desta setelah pria itu mengangguk. Entah apa yang ada dalam pikirannya, semoga saja ia tidak tahu apa yang baru saja terjadi denganku dan juga kakaknya.
Begitu sampai di rumah, aku melihat sepatu Mas Gusti masih di sana. Itu tandanya ia belum pulang dan masih tidur dengan nyenyak. Lekas kugiring Hilmi masuk ke rumah untuk mengganti baju. Anak kecil itu terus saja menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sosok papanya.
"Teteh, di depan ada sepatu papa, tapi papanya mana?" tanya Hilmi padaku.
"Oh, itu, papa Hilmi sedang sakit dan sekarang menumpang tidur di kamar teteh. Yuk, Hilmi makan ya. Bisa makan sendiri'kan?" anakku mengangguk sambil tersenyum. Kusajikan nasi dan ayam yang tadi kubeli di atas piring makan, setelah aku membantunya berganti pakaian.
"Teteh, makan di depan TV boleh gak?" tanya Hilmi lagi. Aku pun mengangguk menyetujui. Bocah kecil itu pergi ke ruang tengah untuk makan sambil menonton televisi. Aku pun ikut duduk sebentar di dekat Hilmi karena merasa bagian kewanitaanku pedih.
"Hanin, Hanin!" Aku terlonjak kaget saat Mas Gusti malah berteriak memanggil nama almarhum istrinya. Lekas aku bangun dari duduk untuk menghampiri Mas Gusti. Kutahan dengan kuat rasa pedih di bagian selangkangan yang membuat air mata ini tidak bisa ditahan untuk tidak tumpah.
Brak!
Pintu kamar dibuka dengan kasar.
"P-pak Gusti!"
"K-kamu, Rani, darah apa yang ada di atas kasur itu?"
"I-itu s-saya.... "
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sejati Suamiku
RomantikMas Gusti masih mengurung diri di kamar setelah kami semua pulang dari pemakaman Mbak Hanin. Tulang rusuk lelaki itu telah pergi untuk selamanya, membawa buah cinta yang sudah dua belas tahun mereka nantikan. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari se...