Pak Desta sudah membawa Hilmi pergi dengan mobilnya. Aku mengintip dari jendela kamar kepergian keduanya. Setelah merasa aman, aku pun pergi ke dapur untuk mencari sabun. Ya, paling tidak, aku harus segera mandi membersihkan tubuh.
Ada sabun batangan di dalam lemari perlengkapan dapur dan masih banyak persediaan rumah tangga lainnya. Satu batang sabun batangan aku bawa ke kamar untuk membersihkan tubuhku. Barang yang lainnya bisa aku urus nanti.
Setelah mandi dan mengganti pakaian dengan yang lebih nyaman. Aku pun menyapu rumah dan mengepelnya. Setelah semua lantai dan ruangan bersih dan wangi, aku pun mencuci piring kotor yang tidak terlalu banyak di kitchen sink.
Adzan magrib berkumandang saat aku selesai melakukan semuanya.
"Desta! Desta! Lu di rumah gak? Desta!" Teriakan Mas Gusti membuatku terlonjak kaget. Dengan ketakutan, aku kembali bersembunyi di dalam kolong meja. Bisa saja Mas Gusti masuk ke dalam rumah dan aku tidak tahu, apakah pintu rumah tadi sudah dikunci Pak Desta atau belum.
"Desta, buka! Ada Hilmi gak?" Aku pun menghela napas. Ada sedikit rasa syukur di sana karena ternyata Mas Gusti mencari keberadaan Hilmi. Suara pagar digoyang kasar, menandakan pintu pagar dikunci oleh si pemilik rumah. Aku pun keluar dari tempat persembunyian, lalu berjalan mengendap-endap untuk melihat Mas Gusti, suamiku.
Pria itu nampak berdiri dengan resah sambil memegang ponsel, lalu ia letakkan di telinga.
"Desta, lu gak di rumah ya? Gue nyariin Hilmi."
"Apa? Sial! Gue udah deg-degan, Desta. Gue kira Hilmi kabur karena mbaknya gak ada. Ya udah, nanti kalau Hilmi tidur, anterin pulang aja. Langsung taruh di kamarnya. Pintu rumah gak gue kunci."
Itulah kalimat yang kudengar saat Mas Gusti menelepon Pak Desta. Pria itu sangat tidak menyukai Hilmi entah karena apa? Padahal almarhumah Mbak Hanin sangat menyayangi Desta dengan sepenuh hatinya.
Pria itu pun berlalu dari depan rumah Pak Desta. Aku bisa bernapas lega dan bersiap untuk salat magrib. Walaupun aku belum memakai hijab seperti keinginan Mbak Hanin, paling tidak, aku tidak pernah meninggalkan salah satu kewajibanku sebagai seorang muslim, yaitu salat lima waktu.
Selesai salat, aku menggoreng telur, lalu menikmati makan malam sederhana sambil menunggu Pak Desta pulang. Namun, hingga jam di dinding berada pada angka sembilan, Pak Desta belum juga pulang dan aku pun memutuskan untuk tidur saja.
Hari ini aku amat lelah dan mata pun sudah mengantuk. Malam ini pula, di sepanjang hidupku, aku tidur di kamar ber-AC. Sampai-sampai aku tidak sadar kapan Pak Desta pulang.
Tok! Tok!
"Zia, bangun!" Aku tersentak saat suara Pak Desta terdengar membangunkanku. Lekas aku turun dari tempat tidur untuk membuka pintu. Siapatahu majikan baruku itu membutuhkan sesuatu.
"Ya, Pak, ada apa?" tanyaku sambil menggosok kedua mata.
"Zia, kamu di sini tetap pembantu ya, masa iya, sudah jam enam belum juga bangun," protesnya dengan wajah masam. Aku mendelik kaget sambil menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan ucapan majikanku salah.
"Jam enam sore, Pak?" tanyaku setengah bingung.
"Jam enam pagi, Zia. Kamu kesiangan! Lihat dong ini, aku udah pakai baju rapi mau ke toko. Udah, kamu lekas mandi dan salat. Ini rambut palsu kamu da mulai hari ini, nama kamu Rani ya. Maharani Fauzia adalah nama asli kamu'kan? Nah, kamu kupanggil Rani, bukan Zia. "
"Ya ampun, Pak, saya minta maaf sudah kesiangan bangunnya. Mungkin karena pakai AC, Pak, jadi adem banget kamarnya. Maafin ya, Pak," kataku tidak enak hati. Pria itu tertawa, lalu mengulurkan sebuah amplop coklat ke tanganku. Sungguh baik hati Pak Desta, belum lagi aku bekerja, sudah diberikan gaji.
"Pak, ya ampun, saya benar-benar tidak enak, Pak. Belum bekerja tapi sudah dikasih gaji. Nanti saja, Pak, bulan depan," kataku dengan wajah merona.
Lelaki itu bukannya merasa sungkan atau bagaimana di depanku. Ia malah tertawa, lebih tepatnya menertawakanku.
"Rani, kamu kayaknya kudu mandi air kembang deh. Hanya majikan bodoh yang memberikan gaji padahal pembantunya belum bekerja dan malah bangun kesiangan lagi, padahal hari pertama kerja. Ini uang belanja untuk satu minggu. Kamu harus masak dan membawakan makan siang ke tokoku. Tokoku gak jauh dari sini, nanti aku kirim alamat, paham!"
"Oh, saya kira ini amplop isinya gajian saya. Maaf, Pak Desta. Saya sudah husnuzon, he he he... siap, saya akan masak yang enak." Pak Desta pun pamit pergi tanpa sempat aku membuatkannya sarapan. Sepertinya aku harus mengatur ulang alarm di ponselku agar mulai besok tidak bangun kesiangan lagi.
Aku pun mandi dan langsung melaksanakan salat subuh yang kesiangan. Selesai salat, aku pun mencoba rambut palsu aneh yang jika dipakai lewat dari pundakku. Rambutku yang pendek, tentu saja bisa menyesuaikan dengan rambut palsu ini. Baiklah, mulai sekarang, kamu bernama Rani, bukan Zia lagi. Aku bergumam di depan cermin sambil tersenyum.
Tok! Tok!
"Permisi, Mbak, buka!" Suara Mas Gusti terdengar begitu jelas di telingaku.
Jangan panik, jangan gugup, kamu bukan Zia, kamu Rani! Aku menyemangati diri ini yang sangat gugup."Mbak, buka!" Teriaknya lagi dari depan pagar. Aku pun berlari untuk membuka pintu depan.
"Ya, Pak, cari siapa?" tanyaku dengan suara palsu yang sengaja kubuat-buat, begitu pintu rumah aku buka.
"Saya kakaknya pemilik rumah ini." Tatapan kami saling bertemu, tetapi sepertinya Mas Gusti tidak mengenaliku.
"Oh, iya, Pak Gusti ya. Ada apa, Pak?" tanyaku masih dengan suara aneh.
"Buka dulu pintunya, baru kamu nanya! Duh, si Desta nemu pembantu oneng gini di mana sih?"
"Maaf, Pak, nama saya Rani, bukan Oneng. Mari, silakan masuk!" Aku pun membuka pintu pagar dan mempersilakan pria itu masuk sambil menggendong Hilmi yang masih tertidur. Jika dulu ia bisa memanggilku dengan panggilan buruk apa saja, tapi kali ini tidak akan aku biarkan.
"Saya titip anak ini," katanya datar."Ini anak siapa? Anak Bapak?" tanyaku sengaja memancing.
"Bukan, ini anak sodara. Namanya Hilmi, dia sekolah hari ini jam delapan. Di dalam tasnya ada baju seragam. Alamat sekolah ada di kertas yang aku simpan di dalam tasnya. Dia di sini sampai aku pulang kerja, mungkin malam jam sepuluh aku akan jemput. Kalau dia sudah tidur, berarti biar dia di sini saja." Aku mengepalkan tangan menahan emosi atas perkataan Mas Gusti yang sangat keterlaluan.
"Saya di sini sebagai ART, bukan baby sitter," balasku seolah-olah tidak terima.
"Saya akan bayar kamu. Nama kamu siapa?"
"Saya gak biasa urus anak kecil. Kenapa gak dikembalikan pada sodara Bapak?"
"Orang tuanya udah gak ada. Udah, pokoknya kamu jaga dia. Nanti kamu saya bayar." Mas Gusti berbalik hendak keluar dari rumah.
"Papa, Papa mau ke mana?" Hilmi tiba-tiba saja terbangun dan menghentikan langkah Mas Gusti.
"Hilmi, saya bukan papa kamu, jadi jangan panggil saya papa, mengerti!"
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sejati Suamiku
RomanceMas Gusti masih mengurung diri di kamar setelah kami semua pulang dari pemakaman Mbak Hanin. Tulang rusuk lelaki itu telah pergi untuk selamanya, membawa buah cinta yang sudah dua belas tahun mereka nantikan. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari se...