16. Daya Pikat Rani

914 128 17
                                    

"Rani, katakan yang jujur, Mas Gusti tidur sama kamu?" tanya Desta tak sabar. Namun, jangan panggil ia Zia, kalau tidak bisa berkelit.

"Apa menurut Pak Desta, Mas Gusti mau tidur sama saya? Kalau begitu, kenapa saya harus dikirim ke penjara? Mas Gusti gak akan menyentuh saya, Pak. Lagian Bapak tadi gak dengar kalau Mas Gusti bilang, dia tidur sama wanita malam. Duh, saya bingung sama keluarga suami saya. Udah, ah, saya mau ke rumah Pak Desta saja." Desta belum lagi sempat menjawab sanggahan Rani, wanita itu sudah tidak ada di hadapannya dan kini tengah berjalan begitu cepat menuju rumahnya.

Desta yang tidak mau ikut campur secara langsung pada urusan Gusti, hanya bisa tersenyum simpul. Ada banyak yang harus ia selesaikan setelah kakak iparnya meninggal, termasuk melindungi Zia dari Gusti yang semena-mena.

Kembali ke dalam rumah. Baju kemeja dengan bercak darah tadi, kini sudah ada di tangan Gusti. Ia memandangi terus noda itu dengan mata yang sayu. Kenapa ia bisa sampai terjerumus dalam perbuatan dosa. Apalagi dengan pembantu adiknya yang baru saja ia kenal sehari.

Ya ampun, malah bangun! Sial banget sih! Gusti segera berlari ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan juga menenangkan senjatanya. Pakaian yang terkena noda keperawanannya Rani, ia masukkan ke dalam keranjang cucian, sedangkan celana dalam yang ia fitnah dengan muntah kucing itu, ia buang ke dalam tempat sampah.

Ia pasti sudah gila. Sudah tidak waras karena membobol keperawanan wanita lain. Zia saja yang menjadi istri sirinya, tidak minat ia sentuh, tetapi Rani, kenapa wanita itu bisa dengan pasrah berada di bawahnya waktu itu?

"Gusti, Mama mau berangkat! Ingat, jangan sampai kamu ulangi lagi tidur dengan sembarangan wanita. Awas penyakit kelamin nanti! Punya dua istri saja, yang satu dimasukkan ke penjara, gimana kalau kamu tidur sama lima wanita dan lima-limanya minta tanggung jawab. Mama pastikan akan segera kembali memotong sajam kamu sampai kate! Dengar itu, Gusti! Sampai kate!" Gusti yang baru saja mandi dan henda berpakaian, tertawa terbahak mendengar pesan mamanya.

"Ketawa ya? Nampak senang anak Mama habis tidur sama anak perawan. Awas aja pokoknya kalau diulangi!"

"Iya, Ma, nggak lagi-lagi! Hati-hati di jalan ya. Uang jajan Hilmi nanti saya transfer saja." Setelah itu, Gusti tidak mendengar suara apapun lagi. Namun, suara pagar dibuka membuat ia melihat dari jendela kamar. Pria itu menyingkap gorden untuk memastikan bahwa mama, papanya, dan juga Hilmi sudah berangkat dengan taksi online.

Ada Rani di sana yang ikut melepas kepergian Hilmi dengan senyuman tulus. Bola mata Gusti bergerak ke atas, ia seperti pernah melihat senyum itu, tapi di mana? Setelah taksi pergi, Rani pun berjalan masuk ke dalam rumah. Tidak lupa gadis itu menutup pagar dan mengaitkan slot pagar dengan benar.

"Assalamu'alaikum, Pak Gusti, Rani datang mau beres-beres!" Seru Rani dari depan pintu.

"Wa'alaykumussalam. Ya, masuk saja. Tolong langsung ke dapur ya." Suara Gusti menjawab dari kamarnya. Rani tersenyum, lalu tanpa harus diperintah apa saja yang perlu dikerjakan, Rani sudah mulai mengerjakannya semua. Karena ini adalah rumah suaminya yang berarti rumahnya juga.

Rani mencuci piring, menyapu, mengepel, merapikan sofa, serta hendak menjemur pakaian yang sudah berhari-hari di mesin cuci. Empat hari lalu, ia memang sudah mencuci, tetapi belum sempat menjemur, alhasil, cucian beraroma apek itu, tidak jadi ia jemur, melainkan ia putar kembali di mesin cuci.

"Rani, ini masih ada pakaian kotorku," ujar Gusti sambil membawa keranjang cucian kotor yang ada di kamarnya.

"Iya, Pak, taruh saja di situ, nanti saya cuci. Ini saya mau beresin isi kulkas dulu," jawab Rani yang tidak berani menatap Gusti. Apalagi kemarin mereka baru saja melewati siang yang panas. Tentulah ia merasa canggung.

"Memangnya sudah tidak sakit? Kenapa kamu cekatan sekali bergerak?" pertanyaan itu membuat Rani menoleh pada Gusti. Pria itu kini yang menunduk karena ditatap lekat oleh Rani. Ingat Rani, kamu harus membuat Gusti bucin sampai gila padamu, untuk itu, kamu harus memakai strategi tarik-ulur.

"Masih sakit, terutama habis buang air kecil," jawab Rani dengan wajah yang dibuat iba. Gusti mendesah, lalu berjalan mendekati Rani.

"Rani, maafkan saya ya. Saya gak sengaja. Itu karena mabuk. Terus, kamu ga usah takut kalau kamu hamil, soalnya saya saja belasan tahun baru punya anak dari almarhum istri saya. Eh, malah Allah panggil duluan. Saya minta maaf." Rani paling tidak bisa jika mengingat Mbak Hanin dan bayinya. Ia pun sudah berkaca-kaca; merasakan air matanya yang mungkin sebentar lagi akan tumpah.

"Tapi saya sudah gak perawan, Pak. Bagaimana nanti kalau tidak ada pria yang mau dengan saya? Atau kalau saya menikah dengan pria yang mencintai saya dan kemudian pria itu menceraikan saat tahu saya tidak perawan, bagaimana? Masa depan saya hancur. Apa yang akan saya katakan pada orang tua saya?" Rani mencecar Gusti dengan linangan air mata buaya.

"Rani,sejak kapan kamu ada tahi lalat di dekat dagu? Kayaknya kemarin tidak ada. Saya baru tahu kamu ada tahi lalat besar di sana, bukan tahi lalat, tapi seperti tompel." Gusti baru sadar ada yang baru di wajah Rani yang semalam tidak ada.

"Bapak selain hilang kesadaran saat mabuk, apa Bapak juga rabun? Sejak lahir saya sudah ada tahi lalat di dagu. Bapak yang tidak sadar karena Bapak mabuk. Sudah, Bapak ke depan saja, jangan di sini, nanti bisa jatuh cinta pada saya."

"Maaf ya, Rani, kamu jangan GR, kalaupun saya terpaksa menikahi kamu, itu bukan karena saya mencintai kamu. Saya tidak akan jatuh cinta pada wanita manapun lagi, selain almarhum istri saya."

"Iya, saya tahu, oleh karena itu, jangan diam saja di sana! Bapak mengganggu saja bekerja. Setelah beres, saya mau kembali ke rumah Pak Desta. Saya mau memasak dan mengantarkan makan untuk majikan saya itu."

"Rani, apa Desta tahu kalau kita.... "

"Jangan sampai! Pokoknya Pak Desta tidak boleh tahu. Bapak harus dukung saya, karena saya sedang mengambil hati Pak Desta. Siapatahu kami berjodoh." Rani tersenyum malu-malu di depan Gusti.

"Bapak kan kakak dari Pak Desta. Bisa dong, jodohin saya dengan Pak Desta. Lagian Pak Desta kayaknya single, he he... yah, namanya juga usaha ya, Pak."

"Malas, ngapain jodohin orang! Usaha sendiri sana!" sahut Gusti sewot.

"Ya sudah, awas aja kalau jadi pengganggu!" Gusti meninggalkan Rani dengan wajah masam. Pria itu memilih duduk di ruang depan sambil menonton televisi, tetapi percuma, acara di televisi tidak ada yang bisa membuatnya lupa melirik Rani. Ponselnya bergetar, ada pesan masuk dari teman kerjanya. Di layar ponsel, foto Hanin yang sedang berbadan dua yang menjadi wallpaper.

Gusti menatap wallpaper itu dengan mata yang basah. Pria itu bangun dari duduknya dan langsung keluar rumah dengan sepeda motor. Ia tahu yang harus ia lakukan saat ini. Ziarah ke makam Hanin. Ia rindu istri dan calon bayinya. Siapatahu, dengan sering mengunjungi makam dua orang terkasihnya, ia dapat mengurangi daya pikat Rani yang mengingatkan dirinya akan almarhum istrinya.

Puas mengaji di makam Hanin dan juga berbicara sendiri di depan makam itu, Gusti pun bangun dari duduknya.

Getar ponsel membuatnya meraba saku celana.

["Assalamu'alaikum, Mas Gusti, tahanan atas nama Zia sudah keluar tiga hari lalu. Gadis itu dijamin oleh seorang pria. "]

["Wa'alaykumussalam, apa? Zia bebas dan dijamin seorang pria?"]
Bersambung

Cinta Sejati SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang