[" Desta, apa kamu ada waktu siang ini? Temani aku ke kantor polisi."]
["Mau apa, Mas? Mau menjarain siapa lagi? Rani?"]
["Ish, bukan, aku mau konfirmasi ke kantor polisi, karena dari informan yang aku suruh, mengatakan bahwa Zia sudah dibebaskan dengan jaminan oleh seseorang, tepat di hari yang sama saat ia keluar dari rumah ini."]
["Untuk apa konfirmasi? Orang Zia udah dibebaskan, kenapa Mas perlu konfirmasi? Penyelidikan tetap berlangsung walau Zia ga di rumah Mas lagi. Nanti juga di datang saat dimintai keterangan. Lagian, setahu saya Mas gak peduli dengan Zia. Sudah, biarkan saja dia pergi."]
["Aku sih gak peduli dengan Zia, Des. Yang bikin aku penasaran itu, siapa lelaki yang membebaskan Zia. Bayar jaminan uangnya gak seratus dua ratus. Bisa puluhan juta kalau berurusan sama polisi. Berarti bukan orang sembarangan."]
["Ya, terus? Mas bukannya gak peduli sama istri muda Mas itu. Udahlah, mungkin, diam-diam ada hot daddy yang senang sama Zia atau ada berondong yang bucin dengan Zia dan mengetahui kabar Zia ditahan. Karena gak tega, jadinya dibebaskan. Mas, kalau sekarang ke sana, buang-buang energi saja. Sudah, sekarang mending Mas di rumah, main sama Hilmi. Bisa juga jalan-jalan bawa Hilmi ke Ancol atau ke Taman Safari."]
["Buang-buang uang aku menyenangkan anak orang! Lagian, Hilmi udah dibawa mama ke kampung, aku jadi bisa sedikit lega. Kemarin aku juga bilang mama, kalau ada yang mau sama Hilmi, kasiin aja."]
["Gila lu, Mas! Udah, ah, toko lagi rame."]
Rani alias Zia mendengarkan pembicaraan Gusti dan Desta di kamar. Lelaki itu tadi sempat pergi sebentar. Sekitar satu jam setengah, lalu balik lagi dan langsung masuk ke dalam kamar. Seperti ada hal urgent yang harus ia urus. Ternyata ia menelepon Desta dan membicarakan Zia dan juga Hilmi.
Dua orang yang memang sangat lelaki itu singkirkan. Jika Zia dibuat masuk penjara, maka Hilmi dibawa ke kampung. Pria itu tidak punya perasaan sama sekali. Batin Rani sambil mengepalkan tangan.
Tidak akan aku biarkan Hilmi diangkat anak oleh orang lain. Mas Gusti bisa dilaporkan dengan tuduhan menelantarkan anak yang sudah sahabat secara hukum menjadi anaknya. Lagi-lagi Rani membatin.
Tok! Tok!
"Pak Gusti, saya mau pulang ya. Kerjaan rumah sudah beres." Tanpa menunggu jawaban darinya, aku bergegas keluar dari rumah suamiku. Lelaki itu ternyata jahat. Aku mencintai lelaki jahat. Batin Rani sambil mengusap kasar air matanya yang jatuh.
Sempat terdengar panggilan namanya, tetapi Rani acuh. Ia tetap masuk ke dalam rumah Desta dan mengunci pintu. Jangan sampai ia kecolongan dua kali dengan Gusti.
Hari ini ia memasak sayur asem dan juga ikan asin sambal. Tidak lupa goreng tahu dan tempe. Aromanya sangat sedap dan rasanya pun tentu saja enak. Meskipun ia memasak sambil meneteskan air mata, tetapi ia berusaha memberikan yang terbaik bagi Desta. Karena pria itu sudah sangat baik menampungnya.
Karena merasa gerah, Rani membuka rambut palsunya. Juga menghapus tompel yang ada di dekat dagu. Ia ambil sisir untuk merapikan rambutnya yang berantakan dan juga amat sangat gatal. Ada hikmahnya juga dia sendirian di rumah, sehingga bisa memberikan udara sehat bagi rambutnya.
Ting! Ting!
Ponselnya berdering. Suara itu berasal dari kamar. Rani berjalan cepat untuk melihat siapa yang menelepon. Ternyata Pak Desta. Rani mengira, Desta ingin mengonfirmasi kapan ia bisa mendapatkan makan siangnya.
"Halo, assalamu'alaikum, Pak. Ya, ada apa? Lauk masih dimasak, Pak. Tinggal goreng tahu dan tempe. Mungkin setengah jam lagi makanan sudah sampai di toko Bapak."
"Wa'alaykumussalam, bukan itu Rani. Tadi Gusti meneleponku dan mengatakan akan melihat kamu ke penjarakan. Sekalian mengonfirmasi lelaki yang telah menjadi penjamin dirimu. Semoga saja Mas Gusti menurut perkataanku dan tidak jadi ke sana. Siang ini, kamu gak usah antar makanan ya, karena aku mau ke kantor polisi. Mau minta tolong tentang identitasku yang disembunyikan jika ada orang yang bertanya."
"Oh, begitu, baik, Pak. Mohon maaf sekali lagi karena saya sudah merepotkan, Bapak."
"Gak papa, Ran. Jangan sungkan. Ya sudah, saya mau kabari itu saja."
Sambungan telepon terputus. Rani berbaring di ranjang sebentar untuk meluruskan pinggang. Ia ingin buang air kecil, tetapi takut pedih dan semua ini gara-gara Mas Gusti. Rani terus saja mendesah penuh beban. Semua yang ada kaitannya dengan suaminya, pasti saja membuatnya susah.
Ia teringat akan Hilmi yang mau dikasih ke orang yang ada di kampung. Lekas ia mengirimkan pesan pada Desta meminta bosnya itu melarang orang tuanya untuk menyerahkan Hilmi pada orang lain.
Syukurlah tidak harus ke toko. Rani jadi bisa melanjutkan berbaringnya sambil memejam mata.
Ia tidak tahu sudah tertidur berapa lama. Rani tersentak saat suara pintu pagar rumah yang terus saja digedor. Belum lagi teriakan di luar sama yang membuat kepala dan telinganya hampir pecah. Jika ia orang baru bagi Gusti, maka ia tidak perlu heran dengan tingkah lelaki itu, tetapi ini, kelakuan Gusti saat masih ada Mbak Hanin sangat berbeda dengan saat ini. Apakah ini bentuk stres yang sebenarnya?
"Rani, buka! Aku mau masuk!" Dengan malas, Rani turun dari tempat tidur. Lalu sibuk memakai wig-nya kembali dengan mata setengah tertutup. Rasa ngantuknya masih begitu dominan dibanding kenyang setelah tidur.
"Rani, kamu ngapain di dalam!" Teriak Gusti lagi di depan pagar.
"Sebentar, Pak!" Sahut Rani dari jendela kamar.
Suara gedoran itu semakin nyaring saja. Rani bergegas keluar untuk membuka pintu sekaligus pagar.
"Ada apa sih, Pak? Kenapa teriak-teriak siang bolong?" tanya Rani sambil menggelengkan kepala."Kamu sudah selesai masak?" tanya Gusti santai.
"Sudah," jawab Rani singkat.
"Aku mau numpang makan di sini, tadi sudah bilang Desta. Kata Desta, kamu pasti masak enak. Makanya aku ke sini, " terang Gusti sembari berjalan santai melewati Rani yang tengah memutar bola mata malasnya. Pria itu langsung menuju dapur untuk melihat masakan pembantu adiknya.
"Wah, sayur asem dan ikan asin. Enak ini, bisa nambah berkali-kali saya." Aku hanya diam.
Jika saja ia tahu bahwa ada adalah Zia yang memasak. Pasti sampai mati kelaparan pun ia tidak akan mau makan masakanku. Dahulu, saat Hanin masih ada, pria itu sama sekali tidak mau makan masakan Zia. Jadi, khusus Galih, Mbak Hanin pesanka catring, sedangkan untuk Hilmi dan Mbak Hanin, Zia-lah yang memasak.
Aku gak mau nanti kalau makan masakan kamu, aku jadi cinta sama kamu karena makanan itu sudah kamu pelet. Jijik
Begitulah kalimat yang pernah dilontarkan Gusti pada Zia, saat masih ada Hanin di sampingnya. Zia malas menemani, ia berbalik memilih masuk ke dalam kamar.
"Rani, kamu mau ke mana? Sini, temani saya makan!"
"Males!"
"Eh, yang sopan kamu!"
"Terus saya harus jawab apa? Baik sayangku, saya temani makan ya. Memangnya saya istri Pak Gusti? Saya di sini pembantu Pak Desta. Jadi majikan di rumah ini adalah Pak Desta. Saya tidak akan menuruti maunya Pak Gusti karena Pak Gusti bukan majikan di rumah ini. Silakan makan sendiri, jangan ganggu saya kalau gak mau saya suruh nikahin saya!" cecar Rani dengan berapi-api. Gusti sampai memicing karena setiap ucapan emosi yang keluar dari Rani membuat ada percikan air liur ke wajahnya.
"Rani, tunggu, tompel kamu sudah hilang? Itu, dagunya udah gak ada tompel? Kapan operasi pengangkatan tompelnya?"
"Hah? Eh, i-ini!"
Bersambung
Di KBM App sudah tamat ya. Untuk yang penasaran dan mau mampir beli e-book nya, sudah tersedia di PlayStore ya
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sejati Suamiku
Storie d'amoreMas Gusti masih mengurung diri di kamar setelah kami semua pulang dari pemakaman Mbak Hanin. Tulang rusuk lelaki itu telah pergi untuk selamanya, membawa buah cinta yang sudah dua belas tahun mereka nantikan. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari se...