* * *
Aku benar-benar menyesali keputusanku untuk menjemput Becca di bandara. Juga menyesali keputusanku untuk menghubungi Rangga saat ban mobilku kempes tadi.
"Pak, kita mampir ke atm dulu ya." Pintaku pada supir taksi yang kutumpangi.
"Baik, mbak." Jawabnya.Sudah hampir dua tahun aku berhenti membawa uang cash didalam dompet. Traumaku masih membekas. Bayang-bayang pisau tajam jambret saat dipasar waktu itu, membuatku benar-benar hilang keberanian untuk membawa kertas bernominal bernama uang. Bahkan untuk sekedar lima ribu rupiah pun, aku tak sanggup. Bukan takut kehilangan kertas bernominal itu, tapi aku takut membahayakan nyawaku sendiri.
Saat ini pun, aku hanya mengambil secukupnya saja. Bahkan hanya untuk bayar taksi ini saja.
"Jalan, Pak." Ucapku setelah kembali masuk mobil. "Kita ke Galamara Cafe ya,"Pak supir hanya tersenyum dan mengangguk. Lalu menyalakan mesin mobil dan mengantarkanku ke tempat tujuan. Sesampainya di Galamara Cafe, aku membayarkan sejumlah uang kepada supir taksi dan menyarankan agar dia mau menerima sisa kembaliannya karena aku takut memegang uang cash. Supir taksi itupun mengucapkan banyak terimakasih kepadaku, dan akupun hanya membalasnya dengan senyuman.
Aku kembali melirik jam yang melingkar cantik di pergelangan tanganku, masih tersisa 25 menit sebelum meeting dimulai. Aku segera pergi ke toilet untuk mengganti pakaianku yang sudah lusuh ini. Usai berganti pakaian, Felice menelponku untuk menanyakan posisiku sekarang. Dia bilang, klien kami sudah dalam perjalanan.
"Tenang saja, saya sudah ada si Galamara Cafe. Kamu tunggu saja saya dimeja." Ucapku mengakhiri percakapan kami di telpon.Aku merapihkan rambutku yang sedikit kusut dan menyemprotkan minyak wangi di beberapa titik agar pikiranku lebih fresh. Sesaat setelah aku keluar dari tiolet, dapat aku lihat bahwa klien kami sudah datang dan tengah bersalaman dengan Felice. Aku merapihkan kembali pakaianku sebelum akhirnya menemui mereka semua dimeja.
"Selama siang," sapaku saat menghampiri mereka.
"Selamat siang," balas mereka sambil menjabat tangan mungilku."Maaf menunggu lama, " ucapku sembari duduk.
"Tidak apa-apa, bu Diva. Kami juga baru saja sampai." Ucap salah satu dari mereka.
Aku tersenyum ramah "Mau pesan makanan dan minuman dulu atau kita akan langsung memulai meeting?" Tanyaku memastikan."Kalau bu Diva tidak keberatan, sebaiknya kita memesan makanan dan minuman terlebih dahulu. Sebab, pak Raga masih dalam perjalanan menuju kemari. Mohon maaf sekali lagi." Jawab mereka.
"Oh, tentu saja saya tidak keberatan. Tidak apa-apa, sebaiknya kita memang harus memesan makanan dan minuman terlebuh dahulu sebelum memulai meeting penting ini." Ucapku kemudian memanggil pelayan untuk membawakan menu.
Belum sempat aku memilih menu yang kuinginkan, derap langkah terburu-buru terdengar begitu jelas ditelingaku.
"Selamat siang semuanya, maaf saya terlambat." Ucap seorang laki-laki yang sekarang tengah berdiri di sebelahku. Aku mengangkat wajahku untuk melihat wajahnya. Sebaliknya, laki-laki itupun menundukkan wajahnya untuk melihat wajahku. Seketika mata hitamku beradu pandang dengan mata cokelatnya. Aku membeku, terkunci dalam suasana yang entah apa ini rasanya. Mata cokelat itu..., mata cokelat itu masih tetap indah, mata cokelat yang selalu membuaku tenang, hanyut dalam kenyamanan. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa aku berjumpa dengannya disini?* * *
November, 2015
Hujan turun begitu deras di sabtu sore yang kelabu ini. Bukannya berteduh, siswa dan siswi disini malah sengaja hujan-hujanan demi menonton jagoan mereka bertanding basket melawan sekolah tetangga. Sesekali mereka berteriak histeris saat melihat jagoannya berhasil memasukkan bola ke jaring lawan, dan hal itu tentu saja membuat konsentrasi membacaku hilang. Aku tidak habis fikir, mengapa mereka sampai se-excited itu? Padahal hanya pertandingan basket yang menurutku sangat membosankan. Apakah mereka tidak takut sakit flu setelah hujan-hujanan seperti itu?
