🕊
"Saya terima nikah dan kawin nya Nasya Laura binti sadil Ahmad dengan mas kawin boneka boba dan seperangkat alat sekolah di bayar tunai."
"Oke."
"Sah!!"
"My wife."
"Mulut sampah lo di jaga ya!"
"Hadah. Dho, Ridho, badan aja gede. Nonton nya begituan, irit kuota Dho. Kalau habis rengek nya sama siapa."
Suara Renan tiba-tiba terdengar samar-samar. Rupanya pria tua itu masih berada di ujung tangga dengan menanteng dua toples makanan yang isi nya tinggal seperapat.
Ridho yang tengah rebahan di atas sofa depan mendengkus kesal. Papih nya terlalu cerewet juga pikun. Di rumah nya 'kan ada WiFi. Ada WiFi!
"WiFi ada Pih di rumah, lagian Papih ini orang kaya, enggak usah sok miskin deh!"
Renan yang mendengarnya memilih abai, kedua tungkainya menjauhi posisi putranya yang masih rebahan, memilih pergi ke dapur lebih dulu, sekedar mengambil kripik yang sudah hampir habis itu.
Masih pagi, bahkan Dara saja yang biasanya sudah berkutat di dapur belum juga turun. Kebetulan hari liburnya para siswa di sekolah, mereka juga ingin ikut bersantai. Dan, selama itu pula Qylan sudah lima hari bersekolah di sekolahan yang sama dengan Rere.
"A!" panggil Qylan dengan nada penuh semangat.
Ridho yang kebetulan sudah mengambil posisi duduk, langsung menyuruh Qylan untuk kemari. Dipeluknya tubuh kecil Qylan dan rambutnya yang basah, memunculkan aroma bau sabun dan Shampo. Ah rupanya anak ini sudah mandi. Pagi-pagi sekali, tidak seperti Ridho yang masih berantakan walau wajah tampannya tak terhalang.
"Qylan mau ke rumah Rere. Tapi enggak tahu rumahnya di mana, A Idho anterin ya," kata Qylan.
"Lah? Si Rere anak Pak Mahmud itu? Suruh aja ke sini. Biasanya juga suka ke sini numpang WiFi gratis," balas Ridho membuat Qylan mendengus.
Qylan 'kan enggak ada handphone. Tolonglah, otak Ridho diberi ruang sedikit untuk berpikir.
"Yaudah A Idho yang kasih tahu Rere. Qylan mau ke dapur," ujarnya bangkit. Meninggalkan Ridho dengan segala pikirannya.
Ridho memang to..
Enggak usah diterusin."Hari Minggu enggak ada malas-malasan Ridho, sana berangkat ke toko mu, kasihan karyawan kamu, gaji nya kamu tunda-tunda," lontar Renan seraya kembali ke ruang tamu dengan membawa Qylan.
Ridho lagi-lagi mendengkus kesal. Pria tua ini, benar-benar membuatnya tak bisa sehari saja santai. Memang, harus banget Ridho sibuk, enggak bisa leha-leha gitu? Ridho juga mau kali.
"Tanggal tua juga udah dekat tuh Pih, Papih juga harusnya lebih rajin juga ke kantor, Minggu-minggu gini, Papih bantuin Pak Gilman disana bersih-bersih, lap kaca, lap muka Papih juga biar enggak kusut," ucap Ridho langsung ngacir ke atas ketika bantal sofa hampir melayang ke arahnya.
Qylan yang melihat interaksi keduanya hanya bisa mengulum senyum. Ia jadi merindukan sosok Ayahnya juga. Biasanya pagi-pagi seperti ini, Ayah akan telaten menyisir rambut Qylan yang sedang sarapan hendak mengajaknya bekerja.
Sudah mau dua minggu tinggal di sini, nyatanya masih tak bisa menahan rindu untuk tidak memanggil terus nama sang Ayah, Qylan ingat betul, saat Ayahnya pamit, dan katanya akan kembali kemari untuk menjemput Qylan.
Lalu, menghubungi Qylan malam harinya. Dan sampai sekarang, kepingan-kepingan memori masa lalu nya tak bisa sedikit pun terlepas. Qylan terlalu bergantung pada Ayah ketimbang Ibu.
🕊
Qylan anaknya masih polos. Contohnya celotehan Rere yang sesat itu saja Qylan tidak paham, semakin tertawa lepas saja Rere melihatnya. Qylan jadi kesal juga, karena ia tidak paham, Rere sama Ridho malah tertawa bersama. Tanpa mengajak-ngajak Qylan.
'Kan enggak mungkin, kalau tiba-tiba Qylan tertawa. Harus ngerti dulu topik yang Rere bahas.
"Heh Rere goreng! Bayar nih sama Bos, numpang WiFi mulu lo!"
"Tenang Bang Dho, nanti gue bayar pake galon. Gratis deh," kata Rere tanpa melihat ke arah Ridho.
"Bagus, gue enggak perlu beli galon nya kalau gitu."
"Maksud gue ongkir nya yang gratis Bang, bukan isi galon nya. Itu mah Bang Idho kudu bayar," ujar Rere dengan kurang ajar nya.
"Sialan! Pulang lo anjir. Nambah beban aja, ini sebenarnya kerja kelompok atau individu. Perasaan dari tadi Qylan mulu yang nulis, lo cerewet iya, bantuin kagak! Enggak usah di temenin Qylan, anak siluman bekicot dia," tutur Ridho menunjuk ke pada Rere yang malah mencomot puding yang Ridho bawa.
"Eeeh jangan gitu, A. Rere teman satu-satunya Qylan, kalau enggak ditemani nanti Qylan sendirian, Rere nya juga kasihan," ungkap Qylan. Rere yang mendengarnya merasa terharu.
Dengan tangisan yang Rere buat-buat. Anak yang lebih tinggi dari Qylan itu memeluk Qylan, Ridho yang melihatnya bergeridik ngeri. Ada apa dengan dua oknum ini.
"Qylan emang paling punya ati. Gak kaya di depannya! Enggak like. Bang Ridho jelek kaya Qirdun, huhu, tak kasih tahu sama Tante Dara, biar aja tuh panci diskonan nya melayang terus mendarat, ke kepala Bang Ridho!"
"Dih bocil, ari maneh mani pundung!"
"DA AKU TEH PENGEN AYANG!"
"Halah muka pas-pasan jangan sok keras! Skincare-ran dulu mending sana, pake masker warna kuning, biar komedo-komedo sama dosa-dosa lo sekalian ilang!"
Rere merengut, seraya memasukan potongan puding terakhir pada mulutnya. "Bang Idho jahat pisan!"
Qylan hanya bisa tersenyum, melihat interaksi keduanya dalam diam. Hidupnya tak pernah seramai ini, hidupnya tak pernah seberwarna ini. Jika dulu Qylan selalu bersama Ayah, maka sekarang Qylan bersama orang-orang rumah, yang membuat hati kecilnya perlahan menghangat.
Qylan tak pernah sebahagia ini.
"Bang, Bang! Ada kang eskrim. Qylan ayo beli," kata Rere dengan semangat. Menarik tangan Qylan buru-buru, meninggalkan Ridho dengan perasaan tidak enaknya.
Pasti ...
"BANG IDHO YANG BAYARIN!"
Tuhkan.
Dua bocah ini bisa saja menguras isi dompet Ridho, yang uang nya pecahan lima ribu. Sisa nya ia simpan di ATM.
"Semuanya berapa Pak?"
"Dua puluh ribu aja Mas."
'Buset. Mereka ambil eskrim apaan harga nya sepuluh ribu satu eskrim. Kurang asem!'
Ridho menatap nyalang pada dua bocah yang tengah mengemut eskrim, wajah keduanya memang terlihat bahagia. Ridho jadi curiga, benarkah dua orang ini sudah memasuki sekolah menengah pertama, kelakuannya saja masih seperti anak sekolah dasar.
"A Idho mau?" tawar Qylan menatap Ridho dengan kedua mata bulat nya, juga pinggiran bibir yang ternodai eskrim.
Ah, lucu nya.
Ridho tersenyum, seraya menarik dua lembar tissue, mengelap dengan pelan kedua sudut bibir Qylan.
"Enggak Qylan. Buat kamu aja."
Qylan merasa degup jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tak pernah segugup ini.
"Aduh aduh, lapin gue juga dong," kata Rere sambil mendekat ke arah Ridho dengan bibir yang di manyun manyunkan.
"Najis anjir!" Ridho melempar tissue bekas pada Rere, yang pada akhirnya keributan kembali terjadi.
Seperti biasa, Qylan hanya menjadi penonton.
🕊