Lembar sembilan 🕊

42 23 4
                                    

🕊





Pukul setengah sebelas malam, kedua matanya terasa berat dan perih. Selama lima jam itu pula, Qylan menatap beberapa alat tulis dan buku, kasur kecilnya penuh dengan buku-buku yang berserakan, bahkan segelas susu yang Ayahnya antarkan sudah berembun dan tidak lagi terasa hangat.

Saat matanya terpejam, Qylan dikejutkan dengan bayangan Indah- sang Ibu yang memukul tangannya dengan penggaris besi, lantaran dirinya yang tidak sengaja tertidur.

Pandangannya meliar, menghela napas panjang, sambil menyenderkan tubuhnya yang terasa kebas dan pegal. Saat-saat matanya ingin kembali tertutup, decitan pintu terdengar, spontan Qylan menegakkan badan kembali. Di rasa Indah yang mulai berjalan menuju arah kasurnya.

"Sudah selesai? Kau mengerjakan soal nya dengan benar bukan? Awas saja jika besok nilai mu anjlok lagi seperti Minggu kemarin," kata Indah sambil membereskan semua alat tulis dan buku milik Qylan ke meja belajar.

"Sekarang, tidur!"

Qylan berangsut, merebahkan tubuhnya dan memunggungi Indah. Setengah badannya terasa hangat, saat Indah menaikkan selimut sebatas dada. Terdiam, Qylan tersenyum, walau Indah tidak selembut Ayah, rasa keibuan Indah tentu saja masih bisa Qylan rasakan.

"Qylan," panggil Dara mengguncang Qylan pelan.

Hujan sudah berhenti sejak satu jam yang lalu, menyisakan rintik-rintik kecil yang masih turun, Qylan tertidur di bawah karpet di dalam kamar, disekitarnya banyak sekali buku-buku paket dan buku tulis yang berserakan.

Qylan terduduk, pandangannya masih setengah mengabur, dihadapannya ada Dara yang Qylan kira itu Indah, Qylan berangsut mundur, sampai punggungnya menabrak lemari pakaian.

Sambil bergumam pelan, Dara dibuat bingung oleh Qylan, yang seakan melihat Dara adalah hal yang menakutkan.

"Maaf, maaf Ibu. Qylan ketiduran, enggak sengaja, jangan pukul Qylan lagi."

Dara bingung, dengan langkah pelan Dara berjalan menuju Qylan. Mendengar derap langkahnya, membuat kepalanya kembali berdenyut, kedua telinganya menangkap kembali suara-suara yang sering Indah lontarkan padanya.

"Qylan, kamu kenapa, hei?"

Tangan Dara tak sengaja Qylan tepis, pikirannya berkecamuk, bayangan masa lalu terus memenuhi otak Qylan. Sedangkan Dara sendiri, ia jadi ikut panik dan bingung, harus apa dan harus bagaimana agar Qylan merasa tenang kembali.

Tak berlama-lama, Dara menarik tubuh Qylan pelan, mendekapnya erat-erat sehingga detak jantung Qylan yang terdengar berdetak dengan sangat cepat. Mungkin, sekitar lima belas menit lamanya, mereka sama-sama dalam posisi seperti itu. Dara sedikit melirik ke bawah, Qylan yang merasa diam saja, dan tidak ada pergerakan seperti sebelumnya, membuat Dara dapat menghela napas dengan lega.

Memastikan semuanya kembali aman. Dara menutup jendela yang terbuka, membereskan alat tulis Qylan ke tempatnya, juga ikut duduk di samping Qylan yang tengah tertidur.

"Sebenarnya, tujuan utama Mas Ardhan nitipin Qylan ke sini untuk apa?"

Lama Dara terdiam, memikirkan jawaban yang setidaknya tidak membuat hati Dara penasaran. Sejak Qylan tinggal di sini, Dara jadi sulit untuk menghubungi Ardhan kembali. Entah, pria itu kemana, dan kabarnya seperti apa. Dara tidak tahu.

Pelan, Dara menyibak rambut Qylan yang berantakan, sedikit basah karena keringatnya sendiri. Tangan Dara berhenti begitu saja, saat matanya melihat bekas luka yang lumayan panjang pada dahi sampai menuju belakang telinga kanannya. Dara kembali dibuat berpikir, ada apa dengan masa lalu Qylan dan Ardhan?

Menguap satu kali, Dara berjalan, memutari ranjang dan merebahkan tubuhnya di samping Qylan. Malam ini, mungkin Dara akan tidur berdua bersama Qylan.

🕊

"Semalam tidurnya nyenyak?"

Renan, Ridho, dan Qylan kompak melihat kepada Dara yang tengah mengambilkan mereka masing-masing piring. Dara yang merasa ditatap seperti itu hanya mampu menghela napas.

"Qylan, Mamih nanya sama dia loh, jangan geer kamu Mas, kamu juga Ridho!"

Ridho mengerucutkan bibir, pun dengan Renan yang kembali menggeser-geser layar iPad. Qylan yang ditanya seperti itu rasanya aneh saja, Indah saja. Ibunya dulu, tak pernah menanyakan hal demikian selama bertahun-tahun Qylan hidup.

"Nyenyak. Seperti ada yang menemani, atau A Idho ya, yang semalam ke kamar Qylan?"

Rupanya, Qylan tak sadar saat Dara menemaninya semalaman.

Dara memberikan senyum, lantas melirik Ridho yang hendak mengeluarkan suara.

"Iya semalam Ridho ke kamar kamu tuh, bawa-bawa guling sambil kucek-kucek mata. Kek nya habis mimpi di kelonin Mimi peri," tutur Dara.

Ridho melotot tidak percaya, mana ada! Ingin mengelak, mulutnya penuh dengan makanan. Dara terkikik setelah sampai di dapur. Sedangkan Renan hanya menggeleng-gelengkan kepala saja, karena memang, Renan tahu, sebenarnya apa yang terjadi semalam.

"Bukan Ridho, tapi Dara." pada akhirnya Renan bersuara.

Qylan terdiam, benarkah seperti itu? Pantas saja, Qyaln merasakan hawa yang berbeda saat ia bangun tidur pagi tadi, Qylan seperti merasakan hal lain dari Dara. Qylan seperti kembali menemukan sosok Indah, walau berbeda, sangat berbeda sekali dengan Dara.

Renan berlari tergesa-gesa menunju lift. Saat pintu terbuka, Renan buru-buru masuk. Ia nyaris terlambat sepuluh menit sebelum rapat dimulai. Ini semua karena Ridho yang mengendarai mobil dengan begitu santai. Meski begitu, Renan tak banyak protes, nanti Ridho pasti mengeluarkan jurus keramatnya.

'Udah numpang, cerewet pula.'

'Turun aja lah!'

Jadi Renan memilih diam. Mengumpat dalam hati diam-diam.

"Nadia, Pak Dandi sudah datang?"

Nadia, wanita berumur dua puluh enam tahunan itu berbalik, menatap Renan dengan stelan jas agak kusut karena mungkin terburu-buru, tataan rambutnya berantakan karena mungkin ia berlarian dari arah gerbang sampai ruangannya.

"Belum Pak, rapat akan dimulai lima menit lagi," ungkap Nadia seraya mengambil dua map kuning dan biru.

"Rambutnya Pak, coba nunduk, ada sesuatu biar saya ambil," kata Nadia. Renan mengangguk, menunduk sesuai ucapan Nadia. Bagaimana pun penampilan harus nomor satu.

Bersaman dengan itu, pintu ruangan terbuka. Dara terpaku melihat pemandangannya yang tak sengaja menangkap sosok suaminya dengan Nadia, berupa sekretaris Renan.

"Mas! Wey minimal kalau mau selingkuh tahu tempat lah! Kamu juga, wanita enggak punya tahu malu, suami orang main ambet-ambet aja!"

"Nih! Tadinya aku mau ajak kamu makan berdua, enggak jadi. Makan aja tuh sendiri, aku pulang! Awas aja, malam ini kamu tidur di luar!" putus Dara berbalik, meninggalkan rantang yang ia bawa di atas meja kerja Renan.

Renan kalang kabut, begitu pun dengan Nadia. Sungguh, Nadia tidak berniat sama sekali, ia juga sudah memilih suami, baru saja menikah tiga bulan yang lalu.

"Biar saya saja Pak yang kejar Mbak Dara. Pak Renan lebih baik siap-siap buat rapat," kata Nadia.

"Tapi, dia tuh keras kepala," sela Renan.

"Justru itu Pak. Kita sama-sama wanita, saya yakin Mbak Dara bakal ngerti. Permisi ya Pak, takut Mbak Dara keburu kejauhan," ujar Nadia meninggalkan Renan sendirian.

Malam nanti akan menjadi malam yang panjang untuk Renan. Ia akan semalaman membujuk Dara yang ngambeknya luar biasa menyiksa Renan.






🕊

 [HIATUS!] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang