Lembar sebelas 🕊

43 22 4
                                    

🕊







"Bang, lima foto ini print ya, buru jangan lama-lama bentar lagi jam tujuh nih."

Ridho memutar bola matanya malas, saat Rere berceloteh ke toko nya pagi-pagi ini. Toko yang seharusnya buka jam delapan pagi, harus buka jam tujuh kurang untuk hari ini, bahkan Ridho tak sempat berganti baju, atau sekedar mandi, pagi tadi saat Ridho tengah menunggu bubur lewat, Rere malah datang dan menyeretnya ke toko, pun dengan Qylan yang ikut kemari.

"Iya dodol, karyawan gue belum pada ke sini, sabar aja, tangan gue ada dua!"

"Ya makanya buruan bikinin Bang! Kok masih berdiri aja," kata Rere sudah jengkel dengan Ridho.

"Foto nya belum lo kirim anjir!" teriak Ridho. Sedangkan Qylan yang duduk anteng hanya terkekeh.

"Oh iya, lupa. Bilang dong dari tadi."

Memang Rere yang hanya tidak sabaran, takut telat lah, itu lah, padahal print foto tidak membutuhkan waktu berjam-jam, hanya beberapa menit dan selesai. Ridho menyodorkan lima lembar kertas, yang tercetak dengan jelas beberapa foto pahlawan entah guru disana, memerintahkan mereka untuk apa.

"Jadi, semuanya berapa Bang?"

"Ini, lo satu kelompok sama Qylan 'kan? Yang tempo hari kalian kerja kelompok bikin materi buat presentasi, ini contoh gambar nya ya?"

Rere mengangguk.

"Yaudah. Gratis, alias enggak bayar, dah sana-sana lo berangkat, pagi-pagi ngerusuh di toko orang. Makanya sebelum hari H itu di siapin. Jadi riweuh sendiri 'kan?" omel Ridho.

"Jangan sampe lo bikin Qylan di hukum gara-gara terlambat," timpal Ridho lagi.

Rere pusing dengan segala rentetan Ridho yang mengoceh ngalor ngidul, dari pada disini Rere menjadi pendengar yang tidak baik, buru-buru ia menarik Qylan, meninggalkan Ridho yang masih mengoceh, bergumam, dan tiada henti menggerutu.

"Mas."

Ridho berhenti mengoceh, wanita dengan tinggi sekitar 154 cm itu tersenyum, sudah rapih dengan stelan baju khas guru, juga hijab yang menambah aura kecantikannya.

"Ya Mbak? Mau ambil yang kemarin ya?" tanya Ridho yang diangguki wanita itu.

"Atas nama, Airin, benar Mbak?" Ridho kembali bertanya, yang langsung diangguki wanita tadi.

"Ini, semuanya jadi delapan puluh lima aja," kata Ridho menyodorkan kresek hitam yang isi nya tak terbilang ringan.

Awal semester baru, memang biasanya banyak guru, yang datang kemari, meminta foto kopi absen baru, foto kopi jadwal dan segala macam lainnya. Tak heran, dari awal Ridho membuka toko, tidak pernah tidak ada yang datang kemari, selalu ramai hingga tokonya kembali tutup.

"Makasih ya Mas. Ngomel-ngomel mulu dari tadi saya lihat, toko nya juga buka pagi-pagi sekali, tumben."

Ridho terkekeh, malu sekali ada yang dengar saat ia mengoceh. Ini juga karena si Rere. Dasar!

"Hehe, iya Mbak. Tadi tuh teman adik saya, maksa bener mau print foto, katanya tugas hari ini harus selesai, jadi yaudah pagi-pagi udah buka, juga, dia tuh nyebelin, adik saya aja pendiem, kok dia cerewetnya ampun, duh jadi curhat."

Airin, guru muda itu tertawa ringan, awal paginya tak bisa dikatakan buruk juga, begitu pun dengan Ridho yang senang, mendapat pelanggan yang ramah seperti ini.

"Oke deh Mas, udah agak siang juga, makasih ya," lontar Airin seraya berlalu.

"Sama-sama!"

Melihat tawa Airin tadi, Ridho jadi teringat akan kekasihnya, yang sudah beberapa Minggu ini tak ada kabar, bahkan, saat malam, Ridho mencoba menelpon pun, tak ada balasan dari sana, hanya suara operator yang akan menjadi sambutan.

Mungkin, dia sibuk.

Ridho tersenyum getir, jika tebakannya tepat sasaran, Ridho akan menjadi orang pertama yang berjanji, ia tidak akan semudah itu, untuk kembali menjalin hubungan dengan perempuan.

Hati bukan untuk dipermainkan, tetapi untuk saling melengkapi, kekurangan apa yang hadir, juga pelengkap untuk suasana yang sunyi.

🕊

"Rere di kantin ada makanan apa aja? Maksud aku, disana ada nasi enggak?"

Si oknum tukang jahil itu, menoleh saat Qylan melempar pertanyaan. Sudah pukul sepuluh, saatnya istirahat pertama tiba, Qylan sudah membereskan alat tulisnya, juga Rere yang melakukan hal yang sama.

"Ada banyak Qylan. Nasi kuning ada, nasi uduk ada, nasi biasa tambah gorengan pun ada, emang lo mau kesana? Enggak bawa bekal?"

Qylan mengangguk. Ayolah, Rere jangan banyak tanya. Qylan sudah lapar.

"Ayo kesana! Aku mau cicip yang namanya nasi tambah gorengan itu," ungkap Qylan sambil menarik Rere, berjalan dengan tidak sabaran melewati koridor yang tidak terbilang sepi, sangat ramai oleh para anak kelas lain yang ikut keluar saat bel istirahat berbunyi.

"Ini tuh gorengan Qylan, lo bisa ambil tiga. Harga nya dua ribu, dapat tiga. Yang mana aja, bisa lo ambil, terus kalau tambah nasi semuanya jadi lima ribu, sini, mana duit lo biar gue yang bayarin sama pesanin, lo duduk aja di bangku sono noh gih, sana," titah Rere.

"Buset, lima ribu Qylan! Bukan gocap anjir, ini gorengan bukan burger ya tuhan." Rere kembali mengembalikan uang Qylan, dan memilih untuk mengambil uang saku nya.

"Kan nanti bisa dikasih kembalian Re, biar pecahan juga uang nya, setiap hari Papih kasih segini, aku enggak punya uang kecil," tutur Qylan. Ya memang benar, nanti dapat kembalian, yang jadi masalah. Kantin ngantri, dan Rere malas berdesak-desakan menunggu kembalian.

"Udah jangan banyak cincong. Sana duduk, keburu di ambil Kakak kelas kursi nya!"

"Iyaaa."

Sekitar sepuluh menit mereka sama-sama diam. Menikmati makanan yang tertelan, lalu dicerna di dalam. Qylan begitu menikmati, juga Rere yang lebih dulu menghabiskan makanannya.

"Lo beneran enggak pernah makan gorengan, wah wah, pasti kalau nyanyi suaranya bagus," ucap Rere terkekeh, meneguk habis minuman rasa jeruknya. Sehingga suara sendawa terdengar, Qylan terkekeh.

"Aku enggak pandai nyanyi. Tapi aku suka musik," balas Qylan sambil menyendok makanan terakhir ke dalam mulutnya. 

"Oh iya? Wah, lo suka lagu apa? Alat musik apa yang lo suka?"

"Kalau lagu banyak. Kalau alat musik, em dari sekolah dasar aku suka banget sama piano!" seru Qylan.

"Gitu, kalau gue si suka sama gitar. Kadang kalau Ayah gue lagi santai, gue suka tuh diajak nyanyi, woh perpaduan suara yang luar biasa, ayah gue suaranya bikin adem, suara gue bisa merusak toa-toa mesjid."

"Aku juga. Setiap hari Minggu, aku selalu diajak ke ruangan Ayah, disana banyak sekali alat musik, dari piano sampai biola, itu semua ada. Ayah yang pertama kali membuat aku suka banget sama piano,"  ungkap Qylan. Berbicara tentang Ayah, Qylan jadi merindukannya.

Ayah? Sebuah tanda tanya bagi Rere.

Terlalu banyak dan terlalu sering membuat kenangan bersama Ayah, membuat Qylan tak bisa jauh dari Ardhan--sang Ayah yang sampai sekarang belum juga melemparnya kabar.








🕊

 [HIATUS!] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang