🕊
Lembar awal dimana semua dimulai kembali. Dari masa lampau yang buruk, kini perlahan membuka lembaran yang baru. Dari rumah baru, hari baru, juga kebiasaan yang baru.
Semua baru. Termasuk anggota keluarga baru. Iya, itu yang dirasakan remaja berumur tiga belas tahun. Namanya Qylan. Selain tahun yang berganti, kehidupan Qylan juga berganti sembilan puluh persen dari kehidupannya yang dulu.
Lamunan Qylan buyar, saat tangan besar milik Ayah menepuk pundaknya pelan. Sudut bibir Ayah melengkung, memberikan Qylan senyuman yang sudah lama sekali sirna. Mungkin, sudah ada sekitar tiga tahun lamanya, saat tragedi menyeramkan itu terjadi.
"Ada yang udah nunggu Nak, ayo masuk."
Dengan langkah ragu, Qylan mulai menginjak lantai bersih rumah bertingkat didepannya, tangannya terasa diremat keras, ah ... itu dari Ayah. Semua tatapannya menyiratkan makna, bahwa semua akan baik-baik saja, sungguh.
Walau ... Ayah juga merasa tidak yakin.
Rumah dengan nomor dua puluh empat itu Ayah ketuk, saat menyadari tidak ada bel disamping pintu. Qylan semakin gusar dan peluh keringat mulai membasahi pelipisnya.
Tak berlangsung dengan lama, seorang wanita dengan pakaian selutut keluar, dengan sepatu hak tinggi yang wanita itu pakai, Qylan sudah dapat menyimpulkan, jika wanita ini seorang pekerja.
"Mas Ardhan."
"Tolong ... sebentar saja." Qylan menatap wajah Ayah dan wanita itu bergantian, ini semakin menakutkan bagi Qylan. Apalagi tatapan tajam yang diberikan wanita itu kepada Qylan yang tidak tahu apapun.
"Pergilah ke kamar tamu, nanti Ayah susul." dapat Ayah lihat, Qylan yang mengangguk.
"Kali ini apa lagi?"
Dirasa Qylan sudah memasuki kamar. Mereka mulai membuka obrolan dengan serius. Tak ada wejangan minimal air, ataupun makanan. Sepertinya kedatangan mereka memang tidak pernah diharapkan. Bohong dengan Ayah yang bilang jika ada yang menunggu. Nyatanya tidak seperti yang Ayah ucapkan.
"Dara aku titip Qylan," lontar Ayah tiba-tiba. Duduknya semakin tidak nyaman saat mengatakan hal yang seharusnya tidak ia lakukan.
Ini memang sedikit tidak waras. Dara mantan istrinya, bagaimana bisa ia menitipkan Qylan yang jelas-jelas bukan anak dari Dara. Namun, ia bisa apa lagi sekarang.
"Ada mental yang harus aku jaga Dara, please. Ini tidak lama, hanya delapan bulan. Aku mohon. Aku tidak tahu lagi harus menitipkan Qylan kemana, ada sesuatu yang terjadi, sehingga aku berani melakukan hal nekat seperti ini," tutur Ayah. Wanita yang ia sebut Dara itu hanya terdiam. Menatap lukisan-lukisan yang terpajang di dinding dengan pikiran yang berkecamuk.
"Dara," tegur Ayah. Barulah Dara tersadar, lalu membuang napas nya pelan.
"Memangnya ada apa? Dimana istri mu Mas?"
"Indah. Dia ... sudah kembali pada pangkuan tuhan, selama tiga tahun itu pula, aku dan Qylan mengalami masa yang sulit. Jika kamu mau bantu, jaminannya bukan mainan. Lebih baik lagi, jika kamu iklas mengurusnya."
Dara terdiam. Bola matanya bergerak kesana-kemari. Langkah terbaik apa yang harus Dara ambil.
"Terus? Kamu sendiri mau kemana Mas? Kenapa anak kamu, kamu titipkan sama aku yang jelas-jelas bukan darah daging aku sendiri, dia bukan keluargaku Mas!"
"Raa ....,"
Melihat Ardhan yang memang seperti dilanda banyak sekali masalah. Dara hanya mengangguk, mungkin waktu selama delapan bulan, tidak begitu buruk. Asal tidak selamanya saja, namanya itu tidak tahu diri.
Sedikit rasa lega yang Ardhan rasakan. Satu masalah bisa ia atasi, sisanya akan ia selesaikan lebih cepat lagi.
"Terima kasih. Secepatnya aku kembali jemput Qylan. Aku pamit buat temui Qylan, ya."
Dara mengangguk lalu ikut bangkit, bedanya Dara pergi ke dapur. Sedangkan Ardhan tengah membuka pintu, yang ternyata sudah ada Qylan duduk anteng dipinggir ranjang sambil memainkan tali Hoodie yang dipakainya.
"Nak."
"Ayah, kenapa lama sekali?" tanya Qylan seraya memutar badan menghadap tubuh tegap Ayah.
Ardhan jongkok lebih dulu, menyetarakan tingginya dengan Qylan yang terbilang tidak tinggi, tidak pendek juga, sedang lah untuk ukuran anak seusia Qylan.
"Ayah harus kembali sayang. Qylan baik-baik ya nak disini, harus nurut sama orang rumah, hm. Tante Dara, Bunda kamu juga. Sama kok kaya Mamah Indah, oke?"
Qylan mengangguk.
"Ayah janji jemput Qylan lagi disini. Qylan tunggu saat waktunya udah tiba, Qylan sayang Ayah." tubuh kecilnya Ardhan peluk erat-erat. Ada rasa tidak tega meninggalkan Qylan disini. Bahkan, ditempat yang baru.
"Sayang kamu juga. Ayah janji bakal jemput Qylan ke sini lagi, gih mending Qylan istirahat ya. Ayah harus kembali."
Qylan kembali memeluk tubuh besar Ayah, rasanya ia ingin egois saja, ia ingin ikut. Ia ingin membantah perkataan Ayah yang katanya, semua yang dilakukan Ayah untuk kebaikan Qylan juga.
Rasanya, ia ingin menyanggah hal itu hari ini juga.
🕊
Qylan tidak nakal, ia paling bisa patuh pada setiap ucapan orang, bahkan orang baru sekali pun. Qylan terdidik menjadi anak yang penurut, baik kepada orang, dan selalu berbagi. Maka sekarang, Qylan berada di rumah yang jelas saja asing untuknya.
Ini ... terlalu canggung. Sudah pukul delapan malam, Qylan belum makan apapun selain pagi tadi. Pagi sebelum kemari, Ayah sempat membawanya ke restoran untuk makan, dan sampai malam ini tiba, Qylan tak berani keluar ataupun beranjak dari sini.
Qylan takut ...
Sampai saat ketukan pintu terdengar, dan bahkan setengah pintu itu sudah terbuka, Qylan menegakkan tubuhnya dan berangsut turun dari kasur.
"Sudah waktunya makan malam. Keluarlah, ikut saya ke meja makan." suara Dara terdengar biasa. Dan juga kaku, Dara sendiri canggung dengan anak kecil ini, karena memang sebelumnya mereka tidak pernah berkomunikasi.
Seperti yang dikatakan sebelumnya. Qylan anak penurut, tanpa ba-bi-bu lagi, Qylan mengikuti langkah Dara yang membawanya pada meja makan. Disana hanya ada seorang pria yang tengah sibuk menatap layar iPad yang berada diatas meja makan.
"Taruh dulu Mas. Enggak baik depan makanan, udah lah itu kamu ketularan anak gadis mu hah? Jadi seorang fanboy? Astaga."
"Enggak cocok, ingat umur," tambah Dara yang tidak diubris suaminya.
"Hadah, punya istri satu cerewet amat. Eh ini anak siapa, lucu banget. Sini-sini sayang, duduk disini, jangan disitu."
Entah kenapa Qylan semakin gugup. Degup jantungnya terasa berpacu dengan sangat cepat. Qylan duduk disamping suami Dara dengan ragu, pria itu wajahnya seram, Qylan takut. Tetapi, mendengar suara yang berkata ramah itu, makanya Qylan berani mendekat.
"Yang, ini anak siapa? Kamu dapat dari mana? Kayaknya yang ini enggak minim akhlak kaya dua anak mu itu."
Dara mendelik tidak suka. Apa-apaan.
"Heh itu anak mu juga ya Mas! Dia Qylan, anak mantan suami aku," jelas Dara.
Jauh dari ekspetasi Qylan. Jika suami Dara ini akan marah, dan tidak suka. Namun, pekikannya membuat Qylan membulatkan mata.
"YAK! BAGUS. Nanti Papih ajarin caranya jadi fanboy," ucap pria itu dengan semangat. Bahkan, dirinya ia sebut Papih. Hah ... Dara mengelus dada sabar.
"Enggak usah banyak tingkah!"
🕊