Lembar tiga🕊

35 22 1
                                    

🕊




Jika bisa Qylan memilih jalan hidupnya sendiri. Mungkin Qylan akan memilih untuk bersama Ayah sampai maut sendiri yang memisahkan. Qylan terlalu bergantung dengan Ayah sejak tiga tahun terakhir ini. Apapun Ayah yang selalu terdepan untuk Qylan.

Namun sekarang, sosok Qylan berbeda. Ia lebih tertutup pada setiap orang selain Ayah. Baginya itu terasa asing dan aneh. Qylan masih takut pada setiap orang baru, meski berulang kali Ayah katakan. Mereka baik, mereka tidak akan menyakiti Qylan.

Sore hari yang bisa dikatakan bagus. Qylan tertidur di sofa depan. Niatnya tadi menunggu kepulangan Renan dari kantor. Namun, sampai saat ini belum juga pulang.

Dara yang melihatnya sendari tadi meringis. Tidur seperti itu akan menyebabkan leher sakit. Maka dari itu, Dara berinisiatif mengambil bantal juga selimut dari kamar. Melihat wajah damai Qylan ketika tidur membuat hati Dara menghangat.

"Assalamualaikum MAMIH!"

Dara terperanjat, bahkan Qylan sedikit menggerakkan tubuhnya. Itu suara melengking dari arah pintu, rasa-rasanya Dara ingin sekali memarahi orang yang berteriak tidak tahu tempat ini.

"Mamih, huhu anak ganteng kangen."

Dara tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Di satu sisi Dara masih kesal karena orang dihadapan ini berteriak tadi, satu sisi lagi Dara rindu tentu saja dengan kabar sang putra yang sudah hampir tujuh bulan tidak ada di sini.

"Ya ampun Dho! Pulang enggak ngabarin, sampe rumah teriak-teriak, disana kamu belajar bahasa Mandarin atau belajar ilmu tentang hutan hah?!" omel Dara namun tetap saja membalas pelukan hangat putranya.

"Sengaja loh, Idho enggak ngasih tahu Mamih. Biar jadi sup, supre-- supree apa sih! Biar kejutan gitu Mih," cecar Ridho tercengir.

Dara hanya bisa menggelengkan kepala saja. Lama mereka berbincang di pintu, akhirnya Dara membantu Ridho membawakan koper yang bejibun itu. Beratnya hampir setara dengan seberat dosa suaminya, iya canda ya Pak Renan.

"Duduk dulu Dho, mau dibikinin minum apa?"

"Sirup ada sirup apa aja Mih?" tanya Ridho. Anak ini memang sering bertanya-tanya terus. Cocok sih cita-citanya kalau mau jadi wartawan.

Dara walaupun kesal tetap saja menjawab kok. "Ada jeruk sama melon."

"Kalau jus?"

"Jus alpukat, jus buah naga, jus apel, jus wortel, jus tomat juga ada," jawab Dara. Emosinya hendak keluar.

"Susu kotak ada enggak Mih?"

"Ada Dho. Mau rasa apa?"

"Kalau--"

"Lama banget! Sana deh ambil sendiri!"

"Iya Mih, iya. Maaf. Idho capek Mamih, bentar." Ridho terlihat berpikir. Sedangkan Dara mendecih ditempat.

"Aaaah, yaudah air bening aja. Tapi yang dingin," putus Ridho lalu menduduki sofa.

Kurang ajar! Dara menuju dapur dengan kaki yang sedikit dihentak-hentakan. Sedangkan Ridho dengan tidak berdosanya malah cengengesan. Belum sadar dengan Qylan yang tertidur di sofa, Ridho masih merebahkan tubuhnya dengan santai.

Saat pandangannya melihat ke samping. Ridho hampir saja terjatuh dari sofa sangking kagetnya.

"Eeh, gue baru tujuh bulan loh ninggalin rumah. Masa gue udah punya adek," gumam Ridho mendekati Qylan.

"Eeuyyy, lucu sih, masa iya ini adek gue. Gue bukan bungsu lagi dong," kata Ridho berucap dengan sedih.

Qylan terusik dari tidurnya, saat Ridho dengan sengaja menusuk-nusuk kedua pipi Qylan. Bahkan, Ridho memainkan hidung mancung Qylan. Ah, anak ini benar-benar ya.

Saat kedua netranya terbuka, Qylan langsung terduduk dengan menarik selimut. Persis sekali seperti anak gadis yang hendak dilecehkan oleh laki-laki. Astaga, Ridho kaget sendiri. Qylan menutupi wajahnya dengan selimut, ah Ridho menahan gemas agar tidak memeluk erat tubuh Qylan. Soalnya Ridho kalau sama yang imut-imut jiwa pyskopat nya keluar. Waktu itu aja, ayam warna pink Ridho cekik sampe almarhum.

"Heh, ngapain kamu Ridho!"

"Mamih, ini anak siapa hayo? Jangan-jangan Mamih lahiran enggak ngasih tahu Idho lagi. Jahat kamu Mih, huh!"

Dara memutar bola matanya malas. Duduk lebih dulu disamping Qylan yang masih menutupi wajahnya dengan selimut.

"Qylan, ini putra saya. Putra paling laknat sekeluarga saya, namanya Ridho. Maklum sih kamu takut ya, dia emang jelek mukanya," tutur Dara sambil menarik selimut yang menutupi wajah Qylan.

"Heh, apa-apaan Mamih, ih! Jadi ini bukan anak Mamih? Terus anak siapa? Mamih, jangan culik anak orang ih, melanggar undang-undang tentang penculikan anak!"

Terus saja drama, terus! Sampe mampus.

Qylan hanya berkedip saja sambil melihat interaksi dua orang ini. Tubuhnya yang terbungkus selimut semakin menambah keuwuwan.

"Kamu tahu Om Ardhan? Nah, ini anaknya."

"OMG!"

Maklumin aja dah, Ridho 'kan emang lebay.

"Kok bisa disini Mih? Tinggal disini berapa hari?"

"Delapan bulan Ridho!"

Lagi Ridho memegang dadanya, memperagakan adegan kaget seperti di sinetron.

"Bagus dong. Idho punya adek yahaa, enggak papa deh bukan bungsu Mamih lagi. Enggak papa, sumpah enggak papa, namanya tadi siapa? Qy--Qyl?"

"Qylan Ridho, heran deh kamu tuh bikin Mamih sewot ya."

Dara meninggalkan keduanya saat saku celananya bergetar, menandakan seseorang menelpon. Ridho kembali pokus pada Qylan yang masih belum berbicara, apa benar ya kata Mamih nya tadi, kalau muka Ridho tuh nyeremin. Mana ada sih, Ridho rajin maskeran setiap pagi dan malam, kata Mbak nya harus gitu.

"Qylan, hallo i'm Ridho. Panggil aja A Idho," kata Ridho mengulurkan tangannya kepada Qylan.

Tanpa mengeluarkan tangannya dari balik selimut. Qylan menjabat tangan Ridho. "Hallo A Idho, aku Qylan."

"Tahan-tahan, jangan sampe cekik anak orang," kata Ridho dalam hati, sedangkan cengirannya semakin lebar.

"Qylan, mau ikut Aa enggak?"

"Kemana?" tanya Qylan dengan suara pelan.

"Kemana aja, ayok." tanpa menunggu persetujuan Qylan, Ridho sudah lebih dulu menarik tangan Qylan. Lebih tepatnya sih menarik selimut ya, soalnya tubuh Qylan masih ada di sofa, sedangkan yang Ridho seret itu sebuntal selimut tebal.

"Mih, MAMIH! Idho mau ajak Qylan jalan sore!"

"Iya. Pulangnya sebelum magrib!" balas Dara dari samping rumah.

"Siap!"

"Aa, A Idho," panggil Qylan dari belakang.

Ridho menyadari panggilan dari Qylan. Rasa-rasanya suara Qylan terdengar jauh, sedangkan Ridho sudah diambang pintu. Berbalik, menatap tangannya yang menggenggam selimut, sedangkan si empu masih berdiri dekat sofa.

"Ada Aqua?" itu suara Dara. Tepat ditelinga Ridho. Dengan wajahnya yang mengejek, membuat Ridho tidak bisa menahan malu.

"Makanya tadi minta minum, bukannya di minum malah dianggurin. Dah sana, buruan keburu magrib!"

Sore hari yang tidak begitu buruk bagi seorang Qylan.  Bertemu dengan Ridho, sosok laki-laki yang baik dan ramah sama seperti Renan. Mungkin, ke depannya lagi Qylan bisa lebih terbuka pada orang rumah. Melihat bagaimana orang- orang di rumah memperlakukan Qylan sebegitu baiknya. Jauh dari pikiran-pikiran Qylan yang dulu sempat berpikir. Bahwa hidupnya tidak akan seperti hari ini.

Qylan perlu mensyukurinya. Iya.






🕊

 [HIATUS!] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang