Lembar sepuluh 🕊

28 23 3
                                    

🕊







Jika bisa setiap insan, memilih kehidupan sesuai kemauan. Maka Qylan akan memilih untuk hidup dalam kebahagiaan, kebahagiaan dalam arti sesungguhnya.

Dulu, saat Qylan kecil, ia tak pernah sekali pun berpikir akan seperti apa nanti jika ia dewasa, Qylan pikir, ia akan terus sama. Qylan pikir, hidupnya tak akan pernah berubah, nyatanya, pemikiran saat Qylan kecil dulu, tak membuahkan hasil apapun.

Saat anak seusia Qylan masih dilimpahi keluarga, mendekapnya agar tetap hangat, pulang ke dalam rumah yang sebenarnya, untuk Qylan, anak seusia yang bahkan masih belum dikatakan dewasa, harus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Harus tetap tersenyum setiap pagi, menyapa mentari.

Harus berjalan, menapaki aspal. Harus menjalankan hari-harinya dengan keadaan paksa. Karena Qylan paham, itulah hidup.

"Ngapa sih Mamih sama Papih, Qylan tahu enggak dua orang itu kenapa?"

Qylan, yang tengah mengaduk kopi di atas meja makan hanya menaikkan bahunya tanpa bersuara.

"A Idho coba tanya, Qylan mau ke ruangan Papih. Bye!"

Ridho dibuat bingung, saat ia pulang dari toko nya itu. Pandangan asing menyapa indra penglihatannya saat itu pula, jika Dara selalu duduk setiap sore di sofa ruang tamu, sambil memakan kue sagu. Maka sore tadi yang hanya Ridho dapatkan hanyalah keheningan.

Jika setiap malam, Dara dan Renan akan menonton televisi bersama, maka malam ini televisi tidak dipakai sama sekali.

Dua keanehan itu, membuat Ridho merasa ada yang janggal, entah dua-duanya malas melakukan rutinitas seperti biasa, atau mungkin sedang dilanda adanya masalah.

Ridho tidak tahu.

"Pih."

Qylan lebih dulu menyembulkan kepalanya di ujung pintu, sebelum sang pemilik ruangan menyuruhnya untuk ke dalam. Dengan cengiran khas nya, Qylan tersenyum saat Renan menyadari kehadiran Qylan dan buru-buru menggiring Qylan untuk memasuki ruangan.

"Eng--bukan Qylan sih yang bikin, tapi minta dibikinin sama A Idho, ini. Qylan bawakan kopi buat Papih," ungkap Qylan seraya menyodorkan segelas cangkir cantik yang asap nya masih mengepul.

Renan dibuat tertawa oleh perunturan Qylan yang terbilang jujur. Sungguh, anak ini menggemaskan sekali. Pikirnya.

"Jadi, ini kopi buatan A Idho dong, bukan Qylan," ucap Renan sedikit menyikut lengan Qylan pelan.

"Iy--ya gitu Pih, tapi 'kan Qylan yang anterin ke sini. Boleh dong kopi nya disebut Qylan yang bikin, hehe."

Renan tidak tahu lagi harus bilang apa, datangnya Qylan membuat hati Renan kembali tenang.

"Papih lagi marahan ya sama Tante Dara," celetuk Qylan tiba-tiba.

Renan menggaruk tekuknya, setelah meneguk sedikit kopi yang masih terbilang panas. Rupanya orang-orang rumah menyadarinya, jika Renan dan Dara sedang berselisih dengan balutan kesalahan pahaman.

"Ya gitu deh, kalau rumah tangga adem ayem terus, enggak seru dong enggak ada konflik, enggak ada adegan marah-marahan, merajuk, nanti rumah tangganya hambar, kaya telur enggak dikasih garem, gitu Qylan," kata Renan. Tutur katanya terdengar seperti tengah bercanda, Qylan dibuat terkekeh.

"Papih samperin dong, jangan marahan lagi, enggak baik. Kata Ayah, kalau marahan lebih dari tiga hari itu enggak baik," tutur Qylan.

Renan tersenyum, mengusap rambut Qylan pelan, marahan seperti ini sebenarnya jarang sekali terjadi pada rumah tangga Renan, karena baik Renan maupun Dara, tidak ada yang egois. Walau ya, sama-sama memiliki sifat gengsi, seperti Renan yang menunggu Dara lebih dulu meminta maaf, pun dengan Dara yang menunggu Renan lebih dulu meminta maaf.

"Yaudah, Qylan tidur gih, udah malam. Besok 'kan harus sekolah, benar?"

Qylan mengangguk. Memeluk singkat pinggang Renan, lalu berjalan hendak keluar.

"Papih!" panggil Qylan dengan suara lantang, juga memasang wajah garang, bukannya Renan takut malah menurutnya itu lucu.

"Awas. Jangan marahan lagi sama Tante Dara! Kalau besok Qylan masih lihat Papih jaga jarak gitu, jari kelingking Papih Qylan pitesin," ancam Qylan seraya berlalu, menyisakan tawa Renan yang kembali memenuhi ruangan.

🕊

"Mih, kok enggak ada makanan? Ini anakmu yang ganteng mau sarapan sama naon? Qylan juga enggak dibikinin bekal?"

Ridho menutup kembali tudung saji yang ternyata tidak ada makanan apapun, roti pun tidak ada. Mereka yang sedang marah-marahan, anak-anaknya juga yang kena imbas. Hah, Ridho capek.

"Beli bubur aja sana, bentar lagi lewat tuh, tunggu di depan teras, ntar kalau udah denger suara galon di pukul-pukul itu tukang bubur," kata Dara sambil merapikan letak masker di wajahnya.

"Aahhhh Mamih! Bukan galon, mangkuk yang dipukul-pukul, Mamih kira bocil yang suka pukul-pukul galon," koreksi Ridho sudah setengah kesal.

Tak kunjung ada jawaban, Ridho memilih mengikuti saran dari Dara, menunggu tukang bubur lewat, dengan keadaan yang belum mandi, masih sarungan setelah sholat subuh tadi, juga berbekal uang sepuluh ribu.

Sedangkan Qylan sendiri, masih mengikat kedua tali sepatunya dengan pandangan yang tak lepas dari gerak-gerik Renan yang seperti benar-benar gengsi saat ingin melempar obrolan kepada Dara.

"Tan," panggil Qylan seraya mendekat pada Dara.

"Iya? Qylan mau bekal ya, hari ini enggak masak, beli di kantin sekolah aja enggak papa?" tanya Dara.

Qylan menggeleng, bukan. Bukan Qylan ingin bekal, hanya saja, ia sudah risih melihat Renan dan Dara yang berjauhan seperti itu. Lagi pun Qylan tahu, Renan maupun Dara sama-sama tidak nyaman dalam keadaan seperti sekarang.

"Papih mau ngomong katanya, cuman malu-malu, mau minta maaf. Tante jangan lama-lama marahan nya ya, enggak baik."

"Qylan berangkat, katanya Rere ada di depan rumah. Ini, jangan sedih lagi, dan cepat baikan sama Papih."

Dara menatap satu bungkus permen yang diberikan Qylan beberapa detik lalu, sebelum tubuh anak itu benar-benar menghilang dari pandangannya. Hatinya menghangat, pendapat perlakuan kecil yang langsung berhasil meraih hati Dara detik itu juga.

"Kalau Qylan ngasih permen, Papih kasih Mamih apa aja deh. Ayo ganti baju, seharian kita shopping, kemana aja deh, Papih anter, rela jadi supir juga jadi babu Mamih," ujar Renan tiba-tiba bersuara, juga berada di belakang Dara.

"Nyogok ceritanya? Hah enggak mempan!" ketus Dara hendak berlalu.

"Kan Papih udah bilang, dia tuh enggak ngapa-ngapain Papih, Mamih. Lagian kemarin 'kan Nadia nya juga udah jelasin 'kan sama Mamih, udah dong jangan ngambek, Papih laper mau makan, kalau Papih meninggoy terus nanti Ma--"

"Iya-iya! Udah jangan ngaco. Mamih ganti baju dulu, tunggu di sini aja," lontar Dara. Renan menaikan kedua tangannya ke atas, lalu bergumam 'yes'. Semua juga oleh Qylan. Jika saja kemarin malam Qylan tidak datang ke kamarnya, mungkin Renan maupun Dara tidak akan berbaikan.

Memang benar, hadirnya seorang anak adalah pelengkap untuk keluarga. Tetapi, Qylan bukan putra mereka, sepertinya boleh 'kan hari ini juga, mereka anggap Qylan itu bagian dari mereka.










🕊

 [HIATUS!] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang