Rinai sudah sampai di sekolah pagi-pagi sekali, setelah limabelas menit jalan kaki. Sekolahnya begitu dekat, bukankah aneh kalau ia terlambat?
Sampah makanan ringan dan kertas berserakan di depan pintu. Sementara di dalam kelas, seorang gadis sedang mencaci maki gagang sapu. Sesekali batuk dan bersin karena debu.
"Sini, biar aku bantu." Rinai menghampiri gadis itu, mengambil alih sapu dari tangannya.
"Udah gak usah dibenerin, lempar aja ke luar jendela," ucap Ilma jengkel. Sejak tadi ia mencoba memperbaiki sapu yang lepas dari gagangnya, sambil merapal doa agar diberi sabar seluas samudera.
Rinai tertawa. "Jangan gitu, kalau ini dilempar memangnya kamu mau beli sapu baru?"
"Enggaklah!"
Gadis yang menjabat sebagai bendahara itu menatap kesal pada sapu di tangan Rinai. Ia hanya ahli mengurus keuangan kelas, dan menjadi payah soal memperbaiki sapu yang terlepas.
Entah sudah berapa kali Ilma mengatakan bahwa yang paling ia benci di dunia adalah sapu kelasnya. Meskipun begitu, Ilma tak pernah mau mengeluarkan uang untuk membeli sapu. Katanya akan menunggu wali kelas memberikan yang baru.
Setiap selasa, Rinai datang pagi-pagi untuk membantu Ilma. Walaupun ada petugas piket lain, tapi kebanyakan dari mereka senang datang kesiangan, lalu menyapu asal-asalan. Saat diadukan pada guru, tentu saja mereka bilang sudah menyapu.
"Udah nih," ucap Rinai sambil menyodorkan sapu pada Ilma. Jelas sekali temannya itu masih kesal karena ia tak kunjung mengambil sapu dari tangan Rinai.
"Yaudah, biar aku aja yang nyapu pakai ini. Kamu pinjam sapu di kelasku dulu."
Rinai dan Ilma memang tidak satu kelas. Mereka hanya senang saling membantu saat piket. Tak jarang dimarahi oleh temen sekelasnya. Membantu membersihkan ruang kelas lain itu perbuatan bodoh, katanya.
"Ini namanya simbiosis mutualisme!" Seru Ilma setiap kali mendapat protes dari teman kelasnya. "Siapa yang bilang bodoh, hah?"
"Aku!" Fajri si wakil ketua kelas menjawab dari bangku belakang. Ia berdiri seolah menantang Ilma.
"Kau yang bodoh!" Teriak Ilma diikuti gelak tawa seisi kelas. Sedangkan Fajri kembali duduk dengan wajah merah padam menahan malu.
Saat Ilma menceritakan perihal Fajri pada Rinai, ia diceramahi habis-habisan. "Astaghfirullah, Ilma. Gak boleh gitu." Ilma hanya tertawa. Kalau sedang diceramahi Rinai, ia tiba-tiba merasa penuh dosa.
"Udah bersih, Nai. Makasih ya udah bantu nyapu."
Rinai mengangguk, sementara tangannya sudah memegang penghapus papan tulis. Ilma buru-buru merebutnya.
"Kau mau apa? Kita kan cuma sepakat saling bantu nyapu." Ilma menunjuk penghapus di tangannya. "Ini gak ada di kesepakatan."
"Kesepakatan apa, sih?" Rinai tertawa. "Sini penghapusnya. Aku cuma mau bantu hapus sedikit, kok."
"Kau duduk aja, biar aku yang hapus ini."
Rinai mengalah. Padahal ia ingin sekali membantu Ilma dalam berbagai hal. Karena apapun yang dilakukannya tak akan bisa membalas kebaikan gadis itu. Betapa baiknya Ilma yang dengan ramah menyapa dan bilang ingin jadi temannya.
Sebelumnya Rinai tak pernah punya teman. Sejak SD ia terbiasa berdiri di depan pintu kelas. Memperhatikan anak lain bermain dan pergi ke kantin.
Hari itu perut Rinai seolah dipenuhi kupu-kupu. Karena berjalan di samping seseorang yang ia panggil teman baru. Meskipun hanya diajak ke kantin bersama, rasanya sudah seperti diajak keliling dunia. Gadis itu tersenyum sepanjang jalan ke kantin. Membuat lelah bibir orang lain yang melihatnya. Kalau ditanya hal apa yang paling ia syukuri dalam hidupnya, Rinai akan menjawab "Jadi teman Ilma."
KAMU SEDANG MEMBACA
Arus
Teen FictionArsan Idrus seorang anak nelayan ingin memutus rantai profesi turun temurun keluarganya, ia tak ingin jadi nelayan juga. Namun kondisi ekonomi dan minimnya lapangan pekerjaan di kampung tak memberinya banyak pilihan.