Bau karet yang sedang dijemur mengganggu indra penciuman. Namun, para tukang ojek di sebelahnya tetap berbincang seperti biasa. Seolah tak punya hidung di wajah mereka.
Beberapa orang lalu lalang dengan plastik hitam kecil maupun besar. Entah berisi sembako, barang atau pakaian. Seorang ibu muda kelimpungan karena anaknya minta dibelikan mainan. Kini pasar bertambah riuh karena sedu sedannya berganti teriakan.
Sepasang remaja dengan motor lewat di depan muka Riski. Sudah pasti ingin pacaran di pelabuhan tempat kapal masuk. Duduk berdua bagai suami istri yang baru menikah tujuh hari. Riski tertawa dalam hati. Mengubur rasa iri.
Pemuda sembilan belas tahun itu bercermin pada pintu kaca toko. Bertanya-tanya, wanita mana yang akan menawarkan diri secara sukarela untuk menjadi istrinya. Kalau ada, mungkin karena iba. Tiba-tiba hatinya tergelitik. Masih SMA tapi pikirnya melayang kemana-mana. Kalau didengar emaknya, pasti ia disuruh berhenti sekolah dan menikah saja.
Riski mengangkat kardus berisi makanan ringan. Membawanya ke dalam toko. Untuk nanti disusun oleh pekerja perempuan.
Di kampung mereka banyak toko milik orang Cina. Biasanya menjual sembako dan perkakas rumah tangga. Riski bekerja di sana. Sekedar mengangkat barang dari pompong ke dalam toko.
Orang kampung menyebutnya pompong, ada juga yang menyebutnya bot. Sebuah kapal dengan mesin, ukurannya berbeda-beda tapi lebih besar dari sampan. Biasanya digunakan untuk membawa barang-barang, serta mengantar anak sekolah menyeberang.
Dulu ayah Riski juga memilikinya. Sejak kecil ia sering diajak naik. Untuk sekedar melihat laut di sekitar rumah. Pompong mereka biasa dipakai untuk pergi menjala ikan. Sampai akhirnya rusak karena tak punya uang untuk dibetulkan.
"Oi, Ki! Nah ke ambék!" Seorang pria dengan tubuh hitam mengkilat karena terkena sinar matahari, meneriaki Riski dari atas pompongnya. Meminta mengambil dua kardus yang masih tersisa.
Riski mengangkat kardus itu di bahunya. Berjalan cepat karena panas jalan semen terasa membakar kakinya. Saking terburu-buru ia tak sempat memakai alas kaki yang sekarang sedang terinjak pekerja lain. Pemuda itu memungutnya. Memakai sendal jepit yang sudah lusuh, padahal baru dua bulan lalu dibelikan emaknya.
Setelah pulang sekolah, ia biasa jalan kaki ke toko. Hal yang membuatnya kekurangan sabar saat menunggu bel pulang. Tak jarang saat perutnya masih keroncongan karena belum sempat makan.
Kalau sekolah, seringkali Riski dibekali sebungkus nasi dua ribuan yang emaknya beli di warung, tempat biasa mereka berutang. Untuk menahan lapar sebentar, meskipun saat jam pelajaran terakhir perutnya berbunyi bagai gemuruh sebelum badai.
Saat membawa uang ke sekolah pun bisa dihitung jari. Hanya hari senin atau sabtu. Akhirnya Riski ikut berutang juga. Di warung dekat sekolah. Walaupun sering disindir pemiliknya kalau ia telat bayar.
Karena terlalu ramai, ia tak pernah berutang di kantin. Rasa malunya masih dijunjung tinggi meski hidup miskin. Walaupun dihukum karena keluar sekolah tanpa izin. Ujung-ujungnya disuruh hormat bendera. Baginya itu hal biasa.
Riski punya ingin, yang dalam kepalanya ia ucap berulang-ulang. Inginnya bisa bayar utang, lalu beli nasi bungkus dengan uang. Ia juga ingin makan dan duduk di kantin seperti orang-orang.
Waktu kecil dulu kalau ditanya cita-cita, Riski pasti jawab ingin jadi pilot. Agar bisa terbang tinggi. Setelah dewasa, angannya terkubur dalam sekali, tak mungkin digali lagi.
Kadang ia tertawa, mengingat semangat macam apa yang dimilikinya waktu itu. Betapa tangan kecil yang berubah gelap akibat main panas-panasan, berharap menyentuh langit penuh gumpalan awan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arus
Teen FictionArsan Idrus seorang anak nelayan ingin memutus rantai profesi turun temurun keluarganya, ia tak ingin jadi nelayan juga. Namun kondisi ekonomi dan minimnya lapangan pekerjaan di kampung tak memberinya banyak pilihan.