Lembar berisi catatan pelajaran Sosiologi ia sibak bolak-balik sejak pukul empat sore tadi. Sudah lewat lima belas menit. Pemuda itu menghela napas. Bersandar di dinding papan ruang tamu. Sambil menerima kenyataan, bahwa tak ada kecocokan antara Arsan Idrus dan buku.
Sejak kejadian di perpustakaan, Arus merasa betapa berlebihan reaksi Riski dan Iman. Namun ketika coba membaca, baru dua tiga paragraf ia sudah menyerah saja.
Tak menyadari emaknya memperhatikan sejak tadi. Dihinggapi perasaan tak percaya pada hati. Bagai menatap makhluk luar angkasa baru turun ke bumi.
"Makan, Rus." Sepiring pisang goreng terhidang.
Arus mengangguk. Meski agak bingung ketika Bu Hafsah kembali sambil membawa secangkir teh hangat. Emaknya memang baik, tapi tak semanis ini.
"Kenapa, Mak?"
"Apa?"
Pemilik tatap lesu itu menggeleng. Mengikuti tatapan emaknya pada tumpukan buku.
"Baca buku apa?"
"Sosiologi."
Pahamlah Arus muasal pisang goreng dan teh hangat di depannya. Tentu sebagai hadiah, atau boleh jadi sogokan agar ia membaca lebih lama.
Namun beribu maaf harus ia haturkan. Sungguh barisan huruf sudah menjejali mulut, tapi tak tertangkap maksudnya oleh pikiran. Kalau disederhanakan, Arus sama sekali tak mengerti apa yang ia baca tadi.
"Nanti antar ini ke Rinai, ya." Emaknya mengangkat kantong plastik hitam. "Abis itu lanjut baca buku lagi," sambungnya sambil berlalu dengan raut bahagia.
"Iya, Mak." Arus menutup buku. Nanti akan ia lanjutkan membaca. Satu kata saja.
Pemuda itu tak tau kalau menatap pintu rumah orang bisa membuat gugup. Padahal tadi ia melangkah dengan percaya diri.
"Rinai!"
Suara seseorang berlari dari dalam rumah. Wajah teduhnya menyambut Arus bersama senyum malu dan semburat merah.
Sementara pemuda yang disenyumi malah memalingkan muka. Memaksa luntur lengkungan manis dari bibir gadis di depannya.
"Ini dari emak."
"Makasih." Rinai menjawab lirih. Hampir melangkah masuk rumah. Namun berhenti karena Arus bersuara lagi.
"Itu...."
"Apa?"
"Topi."
Rinai mengernyit, "Topi?" Matanya menoleh kanan kiri, sejurus memegang kepala sendiri. "Topi apa?"
Sungguh gadis itu tak merasa tengah memakai topi."Upacara."
"Hah?" Ia dibuat kebingungan oleh pemuda yang kini tengah menggaruk kepala.
Ada lengang panjang menyelimuti keduanya. Sebab Arus terlalu malu untuk berkata lebih jelas perihal topi yang sempat ia pinjamkan. Pikirnya Rinai yang pintar itu akan langsung mengerti. Namun dari tatapan saja ia sudah menduga, gadis itu boleh jadi berpikir ia selangkah mendekati gila.
Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba mengatakan upacara. Barangkali dari sudut pandang Rinai, Arus sudah macam orang mengigau.
"Maksudnya?"
"Topiku yang kamu pakai waktu upacara."
Sontak pipi Rinai memerah. Gugup bukan kepalang, sampai tak tau kemana arah ia melangkah. Entah ingin masuk rumah, atau menatap Arus yang hanya terdiam resah.
"Sebentar, aku ambil dulu."
Tangannya gemetar saat menyibak lipatan baju, tempat ia meletakkan topi itu. Perutnya bak dipenuhi kupu-kupu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arus
Teen FictionArsan Idrus seorang anak nelayan ingin memutus rantai profesi turun temurun keluarganya, ia tak ingin jadi nelayan juga. Namun kondisi ekonomi dan minimnya lapangan pekerjaan di kampung tak memberinya banyak pilihan.