9. Lembar Nomor Sembilan

22 4 34
                                    

Rinai melempar sebuah buku lusuh. Berteriak seolah itu hari terakhirnya di dunia. Padahal hanya melihat seekor cicak sedang diam di sana. Mungkin saja sedang memaki Rinai karena telah melemparnya.

Sejak pulang sekolah, gadis itu menyibukkan diri dengan tumpukan buku lama. Mencari sebuah buku yang tengah menyita segala bentuk rindu dalam hatinya.

Dibuka lembar demi lembar sebuah buku tulis biasa, yang waktu SD ia panggil buku harian. Menertawakan tulisan tangannya yang hancur berantakan. Lalu terdiam pada baris berisi kenangan memilukan.

Kalau dulu Rinai senang sekali menuliskan bagaimana harinya berjalan. Meskipun hanya bangun tidur, makan, lalu melihat anak lain main kejar-kejaran.

Setelah beranjak remaja, Rinai tak lagi menuliskan kenangannya. Ia merasa tak perlu membaca apapun perihal hidupnya yang sekarang. Membiarkan setiap detik berlalu begitu saja. Gadis itu tak ingin meninggalkan kenangan dalam dunia. Tak masalah baginya kalau nanti setelah pergi akan cepat dilupa. Hidupnya memang tak terlalu berharga.

Di pojok atasnya terdapat nomor, dengan hiasan gambar bunga. Rinai sendiri yang membuatnya. Pada lembar nomor satu tertulis 'Buku harian Rinai', dengan huruf kecil yang ditulis besar-besar.

"Halo diari, ini Rinai...." Kalimat pembukanya selalu sama, sebelum dirinya yang kecil bercerita.

"Kak Nesa masak buncis. Enak."

"Ada yang main kejar-kejaran di jalan. Terus dimarahin karena hampir ketabrak motor. Rinai gak ikut main. Liat dari rumah aja.

"Kakak masak udang kecap, ada cabenya, Rinai gak sengaja gigit cabe, pedas."

"Rinai dikasih kue pandan sama emak. Rinai suka tapi udah abis."

Lembar nomor satu sampai empat membuat Rinai tak kuasa menahan tawa. Tak percaya bahwa ia yang dulu benar-benar menuliskan apa saja di buku harian. Anak polos yang merasa antusias pada hal kecil di sekitarnya, entah sekarang menghilang kemana.

"Hari minggu, 15 September.

Tadi Rinai dikasih es krim sama bapak, tapi gak bagi sama Kak Nesa. Es krimnya cuma satu sih. Biar aja kakak beli sendiri. Itu penjualnya masih di sana."

Rinai tersenyum membaca lembar nomor lima. Ia ingat dibelikan es krim oleh Pak Umar. Beberapa anak lain juga dibelikan. Rinai tak ikut makan bersama mereka, ia lebih memilih pulang. Memperhatikan dari jendela.

Waktu kecil dulu Rinai senang beli es krim seribuan, yang dijual menggunakan gerobak. Penjualnya orang Cina, sudah lumayan tua.

Orang kampung menyebutnya es klinting, karena ada lonceng kecil di gerobaknya. Setiap berbunyi, anak-anak yang sedang main akan berhamburan pulang minta uang. Lalu ramai-ramai mengelilingi gerobak biru dengan payung besar warna pelangi di atasnya. Saat es krim sudah di tangan, mereka akan duduk dimana saja. Di teras rumah orang, di tanah, bahkan di tepi jalan. Memakannya bersama lalu lanjut main seperti biasa.

Setelah ia dewasa, tak lagi terlihat gerobak biru itu. Suara loncengnya juga sudah memudar dari telinga. Pak Umar bilang penjualnya sudah diajak sang anak tinggal di kota. Ia membawa masa kecil mereka ikut bersamanya.

Gadis itu kembali membaca lembar lain. Kali ini nomor sembilan.

"Rinai naik sampan sama bapak, sama Arus juga."

Rinai mengingat pertama dan terakhir kali ia naik sampan, adalah saat diajak oleh Pak Umar.

Hari itu, ia dan Arus semangat sekali. Mereka bahkan belum sempat mandi. Rinai dibantu oleh Pak Umar untuk menaiki sampan, sedangkan Arus bilang ingin naik sendiri.

ArusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang