Riski menguap sambil mengetukkan pulpen ke meja. Matanya sayu akibat menahan kantuk. Serta kepala terasa berat yang dipaksa tegak mengamati papan tulis dipenuhi tabel dan angka. Sudah tentu, ia tak mengerti sama sekali.
Tubuh kurus tinggi itu hampir rebah ke sandaran kursi. Sejurus tegak kembali setelah mendengar pengumuman dari pengeras suara di ruang guru. Pemuda itu bersorak dalam hati. Karena mereka tak jadi melanjutkan pelajaran ekonomi. Lebih dulu diminta memenuhi ruangan tempat para mahasiswa melakukan sosialisasi.
Masing-masing mengangkat kursi dari kelas. Saling menabrak karena terburu-buru agar kebagian tempat. Riski juga begitu. Padahal tahu betul itu tak akan berpengaruh untuknya. Namun lebih memilih menghabiskan waktunya sia-sia di sana, daripada duduk di kelas sambil memaksakan diri mengerti materi.
Pemuda itu tak ikut menyimak. Lagi pula buat apa? Toh ia tak akan kuliah juga. Akhirnya Riski berakhir jadi pengganggu di dalam sana. Sibuk menendangi kursi murid perempuan di depannya. Lalu mendapat pelototan yang ia balas tawa pelan.
Di sampingnya ada Arus, sedang mencondongkan badan ke depan. Alisnya bertaut disertai satu dua anggukan. Bukan karena menyimak. Ia sengaja begitu supaya kelihatan baik di mata guru. Jadi sebisa mungkin menganggukkan kepala, pada setiap penjelasan kakak mahasiswa perihal kehebatan kampus mereka. Riski yakin temannya itu pasti tak paham juga. Didorongnya pelan kursi Arus menggunakan kaki. Membuat pemuda itu menoleh.
"Kau ngerti, Rus?" bisiknya.
"Enggaklah."
Keduanya sama menahan tawa. Seolah lupa kenyataan bahwa ketidakjelasan hidup mereka lebih patut ditertawakan. Dengan santai membiarkan detik lain berlalu begitu saja. Tanpa rencana akan melakukan apa kedepannya.
"Cari muka kau, Rus," ejek Riski.
"Sekolah kan memang tempat cari muka," jawabnya.
Riski tertawa. Ia heran pada Arus yang punya pandangan sinis terhadap hal sekitar. Mungkin itu alasannya jarang menyuarakan pendapat. Bisa-bisa ia dapat musuh setiap kali buka suara.
Berbeda dengan Riski yang terang-terangan protes. Senang ikut campur masalah orang tanpa peduli akan berakhir dibenci. Hanya agar tuntas segala penasaran dalam hati. Entah sudah berapa orang yang melabelinya menyebalkan. Sungguh, ia tak peduli sama sekali.
"Untung gak didengar Iman." Riski melihat ujung barisan depan. Tempat Iman duduk menyimak dalam diam.
Arus mengangguk. Kalau Iman dengar, ia pasti diceramahi. Untung saja teman mereka yang bercita-cita jadi ustad saat masih SD dulu, sekarang sedang fokus memperhatikan tanpa peduli kanan kiri. Terlebih pada Arus yang duduk jauh di belakang.
"Rus, Rinai lagi nyimak juga ya." Keduanya memperhatikan gadis itu. Lagi-lagi sedang bersama Ilma. "Dia mau kuliah?"
Tentu saja Arus langsung menggeleng. Ia tak tahu menahu perihal ingin orang lain. Akan tetapi kali ini terbersit penasaran juga. Terlebih dua hari lalu terdengar suara menangis dari rumah gadis itu. Entah apa yang ia tangisi. Baginya, sejak kecil Rinai memang cengeng sekali.
Padahal saat duduk berlima di pelantar, Rinai kelihatan ceria. Bahkan berani bertanya lebih dulu pada Riski. Meskipun gadis itu juga pernah bertanya padanya sekali, perihal tawaran menyuapi. Akan tetapi Arus tetap takjub saat melihat si gadis pendiam buka suara di depan mereka.
Arus memandang wajah Rinai yang sedikit terlihat dari samping. Terhalang jilbab abu-abu, yang hanya ia pakai saat di sekolah saja. Namun tak berlangsung lama, karena Rinai menoleh. Pemuda itu cepat-cepat buang muka. Melihat ke samping kiri, tepat pada Riski yang sedang tersenyum mengejek.
"Awas matamu copot," ejek Riski.
Sudah diperhatikannya sejak tadi, bagaimana Arus menatap Rinai. Lekat sekali. Seolah jika berkedip, gadis itu akan hilang dari bumi.
Ia sedang pasang taruhan di dalam kepala. Bertaruh bahwa Arus sudah menemukan tipenya. Pada gadis yang sedang menyembunyikan senyum, karena sadar diperhatikan.
Riski jadi tak ingat apapun perihal sosialisasi. Bahkan lupa nama universitas yang disebutkan berulang kali. Karena pemuda itu sibuk mengingatkan diri sendiri untuk mengejek Arus setelah keluar ruangan nanti.
Sosialisasi sudah berakhir sejak lima menit yang lalu. Enam orang mahasiswa masih berdiri di depan ruangan. Meminta kesediaan beberapa siswa untuk ikut foto bersama, dokumentasi katanya.
"Kau gak ikut foto?" Riski menghampiri Ilma. Duduk di sebelahnya. Memperhatikan beberapa teman kelas mereka yang ikut foto bersama.
"Kalau ikut gak mungkin aku duduk di sini," jawab Ilma sinis. "Ngasih pertanyaan jangan yang udah jelas."
"Kau gak bisa ramah sekali aja?"
Ilma mengangguk. "Kalau kau juga bisa gak kelihatan bodoh sehari aja."
"Memang kau pintar?"
Ilma menoleh, setelah sejak tadi tak melihat Riski sama sekali. "Yang pasti lebih pintar darimu."
Pemuda itu diam saja. Tak tau harus menjawab apa kala disuguhi fakta. Sungguh bukan pintanya punya otak yang susah diajak berpikir. Terlebih menghapal rumus matematika.
Arus menghampiri keduanya yang tengah diam. Ikut duduk di sebelah Riski. Dilihatnya Ilma hanya sendiri, tumben sekali. Sempat terpikir ingin bertanya perihal Rinai, tapi pemuda itu lebih dulu dibungkam rasa malu.
"Kau mau kuliah?" Riski buka suara lagi. Entah bertanya pada siapa. Membuat kedua orang yang duduk bersamanya tak menjawab.
Pemuda jangkung itu menghela napas, "Kau mau kuliah, Ilma?"
Ilma berdecak. Pikirnya Riski bebal sekali. Sudah menanyakan hal itu berulang kali, tapi masih tak mengerti.
"Memang kenapa kau mau tau?"
"Kalau aku jadi kau...."
Ilma berdiri, ditariknya kerah seragam Riski. Membuat Arus ikut berdiri, hendak memisahkan keduanya. Namun Ilma lebih dulu melepaskan cengkraman. Menyisakan kusut yang semakin tak beraturan, karena baju Riski memang tak pernah disetrika.
Sesaat tumpukan emosinya hampir meluap. Sesak dalam hati yang tertahan sejak di dalam ruang sosialisasi. Pikiran perihal kuliah atau tidak terus menghantui dari malam ke pagi. Lalu entah bagaimana sepatah tanya Riski menjadi pemicu. Tak mampu ditahan. Tangannya bergetar diiringi luruh air mata.
Sungguh tak tau malu pikirnya. Hampir membuat keributan yang bisa saja disaksikan para mahasiswa.
"Kalau kau jadi aku, kau mau apa, Ki?" bisik Ilma. Ia terduduk. Menunduk dengan tangan menutupi muka.
"Kalau aku jadi kau...." Riski menggantung kalimatnya. Menoleh sebentar pada Arus yang masih mencerna keadaan. Bergantian menatap Ilma dan Riski. Persis orang linglung. Diberikan isyarat agar temannya itu pergi dulu. Saat langkah Arus menjauh, ditatapnya Ilma "Kalau aku jadi kau, aku gak akan cuma narik kerah baju aja."
Pemuda itu menoleh ke arah lain kala Ilma balik menatapnya. Tak ingin melihat wajah gadis itu yang basah oleh air mata. Biarlah Ilma yang ia tau tetap gadis pemarah dan tak bisa ramah. Bukan Ilma yang tengah menyeka air mata di sampingnya.
"Kalau aku jadi kau, pasti Riski udah kutampar."
Ilma tersenyum. Tangisnya reda. "Kalau gitu kau jadi aku aja."
"Kalau bisa." Riski masih memalingkan muka. "Kau masih nangis?"
"Enggak."
Kini pemuda itu menoleh, melihat wajah Ilma dengan sisa air mata. Hidungnya merah, mirip tomat ceri. "Aku beli tisu di kantin, ya?"
"Iya."
Riski menyodorkan tangan. Disambut tatap penuh tanya Ilma. "Apa?"
"Duitnya mana? Kau gak mikir aku bakal beli pakai duit sendiri kan?"
Ilma mendelik. Menyumpah serapahi pemuda itu dalam hati. Diberikannya selembar uang dua ribu, memperhatikan Riski berjalan menjauh.
Ingin ia pinta agar Riski tetap duduk di sampingnya saja. Namun tak berani. Dibiarkannya pemuda itu pergi, toh akan kembali lagi.
"Makasih, Ki," bisiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arus
Novela JuvenilArsan Idrus seorang anak nelayan ingin memutus rantai profesi turun temurun keluarganya, ia tak ingin jadi nelayan juga. Namun kondisi ekonomi dan minimnya lapangan pekerjaan di kampung tak memberinya banyak pilihan.