Sudah pukul sembilan pagi, tapi Ilma masih di rumah Rinai. Berbaring di ruang tamu. Hampir terlelap kalau saja Rinai tak mengajaknya bicara.
"Kamu yakin mamamu gak khawatir?" Ilma mengangguk. Melihat sebentar wajah tak yakin Rinai yang sedang mengamatinya dari pintu dapur. Bersama handuk tersampir di bahu. Gadis itu sudah berencana mandi sejak pukul tujuh tadi.
"Tapi kamu kan gak izin dulu mau ke rumah aku."
"Gapapa."
"Ilma, aku serius."
"Udahlah, sana mandi aja, Nai."
"Abis mandi aku temani kamu pulang ya?" tanya Rinai, yang lebih seperti pernyataan karena ia tampak tak butuh jawaban.
Ilma menghela napas, "Kau ngusir secara halus, ya?"
"Enggak!" sergah Rinai cepat. Ia melotot pada Ilma. Matanya yang agak sipit melebar lebih dari biasanya. Entah marah atau apa. Ilma tak yakin juga. Karena Rinai tak kelihatan menyeramkan sama sekali. Wajahnya yang tampak teduh dan lembut memang susah untuk terlihat marah.
Ilma memejamkan mata lalu tertawa, "Makanya jangan nyuruh aku pulang."
"Bukan gitu, Ilma. Aku cuma takut mamamu khawatir."
"Malah aneh kalau khawatir," batin Ilma. "Enggak kok, tenang aja."
Akhirnya Rinai mengalah. Ia merasa tak bisa memenangkan debat ini. Gadis itu memilih mandi saja. Sedangkan Ilma mencoba terlelap lagi.
"Nai, di sini memang sepi ya?" tanya Ilma. Ia duduk sambil menatap ke luar jendela setelah sempat terlelap kurang lebih sepuluh menit. Terbangun tiba-tiba karena mimpi yang tak bisa diingatnya.
Rinai sudah selesai mandi, sekarang sedang menyisir rambut lurusnya yang hampir sepinggang.
"Iya, di sini memang sepi. Kenapa?"
Bukannya menjawab, Ilma malah balik bertanya, "Kau biasanya tinggal sendiri di rumah kalau Kak Nesa kerja, kan?"
"Iya."
"Gak bosan?" Ilma beralih menatap Rinai.
"Aku suka sepi, sih," jawab Rinai diikuti tawa canggungnya. "Kamu bosan, ya?"
"Lumayan."
Jawaban Ilma membuat Rinai bingung sendiri. Ia tak tahu harus apa agar temannya itu tak bosan lagi. Terlebih Ilma adalah teman pertama. Gadis itu ingin memberikan kesan menyenangkan agar Ilma tak bosan berteman dengannya.
"Duduk di pelantar, yuk, Nai!" ajak Ilma. Disambut antusias oleh Rinai sambil bersyukur dalam hati. Karena ia betul-betul tak terpikirkan hal menyenangkan sama sekali.
Panas matahari pagi menjalari papan-papan pelantar hingga mengenai kaki Rinai. Ia beringsut mencari tempat yang agak teduh, diikuti Ilma di sebelahnya.
"Itu sampan siapa?" Ilma menunjuk sebuah sampan berwarna biru muda.
Mereka sudah duduk di sana kurang lebih lima menit. Sibuk tersenyum ramah saat ada yang menyapa, atau sekedar bertanya pada Rinai perihal siapa gadis yang duduk di sebelahnya.
Ilma bilang ingin turun ke sampan ketika tak ada orang lalu-lalang. Namun dilarang Rinai. Takut gadis itu jatuh ke air. Akhirnya ia hanya duduk saja. Menunjuk sampan dan pompong sambil bertanya tentang kepemilikannya.
"Punya Iman."
Ilma mengangguk tanda mengerti. "Kalau yang merah?"
"Punya Arus."
Kali ini Ilma tersenyum, "Kau pernah naik sampannya Arus?"
"Pernah," jawab Rinai jujur. Tak menyadari bahwa di sebelahnya ada yang mengulas senyum penuh arti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arus
Novela JuvenilArsan Idrus seorang anak nelayan ingin memutus rantai profesi turun temurun keluarganya, ia tak ingin jadi nelayan juga. Namun kondisi ekonomi dan minimnya lapangan pekerjaan di kampung tak memberinya banyak pilihan.