My You (2) END

784 108 46
                                    

"Jangan menilai pada tampilan luar.
Walaupun banyak yang lebih mementingkan
cangkang, tapi lihatlah juga isinya sebentar"

***


Di riuhnya suasana Ibukota, Jieun berdiam sendirian. Menghindar dari segala ajakkan yang mengantarkan pada segala macam bentuk hiburan. Iris matanya tajam menatap tiap baris kata yang mulai ia ketik. Berulang-ulang membaca kalimat agar tak terjadi kesalahan.

Ia melirik jam yang menunjukkan pukul 11 malam. Tapi rasa kantuk Ienyap entah kemana dari sepasang mata yang masih setia merevisi tugas artikel yang sebenarnya bisa dilakukan kapan-kapan. Ini mungkin efek dari segelas kopi yang diminumnya beberapa saat lalu, atau mungkin juga karena memori dikepalanya bekerja terlalu sibuk, mereka adegan kenangan-kenangan yang tidak berurutan. Mereka berlarian, bermain di dalam kepalanya, semua terputar secara acak, sampai-sampai setiap lapis inti sel didalam tubuhnya menolak untuk beristirahat saat terpaksa diingatkan oleh banyak hal.

Tentang Ujian mata kuliah statistika hari Senin, tentang Ayah dan Bundanya yang terus bertanya kapan Jieun bisa pulang ke rumah mereka diluar kota, tentang ia yang beberapa waktu lalu sempat menjadi korban bully 3 gadis cantik dikampusnya, tentang teman-temannya yang mendadak jadi wartawan, dan segala hal tentang. . . Jungkook. Dan sebenarnya, lelaki itulah penyumbang terbesar kegelisahan yang Jieun alami sekarang.

Mundur kebelakang, Jieun kembali diingatkan seberapa banyak hal yang terjadi sejak interaksi pertama mereka.

Malam itu, lima atau enam bulan yang lalu Jieun menemukan Jungkook terkapar disebuah bangku taman, dengan kondisi yang memprihatinkan. Luka lebam hingga berdarah diarea muka, dan lecet di beberapa area punggung tangannya. Jieun pikir, ia telah melakukan kesalahan besar saat hati nuraninya yang terlalu baik secara sadar menawarkan pertolongan dengan takut-takut, karena hal itu membuatnya mendapat bentakan, dikatai sok baik, dan dituduh mencari perhatian oleh Jungkook.

Merasa niat baiknya tidak dihargai, Jieun yang kepalang dongkol memilih untuk meninggalkan lelaki itu. Tapi siapa sangka, mood swing manusia setengah sadar itu tidak bisa diprediksi. Setelah sebelumnya menolak mentah-mentah sambil marah-marah dan mencaci maki, didetik yang sama saat Jieun akan pergi- Jungkook menahannya, lalu memohon untuk diobati dan ditemani.

Jieun memang tidak tahu apapun dan tidak berniat mencari tahu penyebab Jungkook terluka malam itu, tapi satu hal yang Jieun sadari, sebenarnya Jungkook tak seburuk yang ia kira. Lelaki yang diberitakan kejam itu ternyata masih tau caranya meminta maaf, mengucapkan tolong dan terima kasih, dan berbicara dengan suara yang lembut, bahkan menawari Jieun tumpangan untuk pulang. Yah-walau keesokan harinya dikampus mereka kembali bertingkah seolah semalam tidak terjadi apa-apa.

Hingga saat ini, Jieun benar-benar masih hampir tidak mempercayai bahwa sosok yang ia temui malam itu adalah Jungkook. Karena kalau diperhatikan lebih dalam, sikapnya malam itu berbeda jauh dengan apa yang sering orang ceritakan. Tapi tunggu, omong-omong soal itu, Jieun baru sadar kalau untuk membuktikan suatu kebenaran ada paket komplit yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu mendengar dan melihat.

Jieun sudah banyak mendengar mengenai Jungkook dan teman-temannya yang katanya suka memukul orang, mereka yang katanya suka mengancam, marah-marah tanpa alasan, tidak punya tata krama, semena-mena dan masih banyak stigma negatif lainnya yang membuat Jungkook menjadi sosok yang sebaiknya dihindari. Padahal, kalau dilihat-lihat lebih dalam melalui sepengamatan Jieun sendiri, Jungkook sepertinya tidak begitu. Lebih tepatnya, Jieun belum pernah melihat keributan yang Jungkook dan teman-temannya buat secara langsung. Kecuali kalau membuat kegaduhan diarea kantin karena tingkah mereka yang absurd bisa dimasukkan ke dalam kategori 'keributan' baru Jieun percaya, karena Jieun memang sering melihat tingkah laku lawak Jungkook dan ke-4 temannya.

Short Story Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang