7. Unwritten Plot

2.2K 214 38
                                    

Vote yang banyak biar aku senang!!!

Selama ini Zemira beranggapan harta bukanlah penentu kebahagiaan. Namun, setelah ia kembali dari kematian yang bukan hanya sekadar mimpi, Zemira tahu bahwa ia harus mengubah pandangan pada banyak hal. Jika saja cinta Atlas hanya untuknya dan tidak akan berpaling pada Zafira, Zemira tidak akan berubah menjadi sosok yang terlihat tamak. Ia tidak keberatan memberikan semua miliknya untuk Atlas, karena terpatok pada prinsip bahwa Zemira juga akan ikut menikmatinya. Sekarang, segalanya sudah berubah. Zemira ingin menagih bayaran atas sikap Atlas di masa lalu, bahkan mendapat keuntungan walau itu harus merugikan Atlas.

Karena Zemira kini sepenuhnya percaya ... apa pun yang dulu terjadi padanya, akan terjadi lagi jika ia tidak mengubah langkah saat ini.

"Apa maksudmu, Zemira? Kau ... kau ingin mengubahnya atas namamu?"

"Ya. Apakah kau keberatan? Rumah itu juga kita bangun dari uangku dan beberapa bulan lagi kita akan menikah."

"Tapi itu tanahku, Zemira. Orang tuaku yang memberikannya."

Seringai Zemira muncul. Ia tidak peduli siapa yang memberikannya pada Atlas. Satu yang pasti, Zemira tidak ingin hasil jerih payahnya terkumpul untuk dinikmati oleh para pengkhianat. Terlalu naif jika ia tetap berkontribusi pada rumah itu, sedangkan di ujung cerita nanti Zafira yang menikmatinya dan Zemira yang terbuang. Zemira merasa pedih kala membayangkan jika saja perselingkuhan itu tidak pernah terungkap.

"Ah, iya, aku hampir melupakannya. Kau benar, itu milikmu. Aku hanya calon istrimu yang tidak berhak meminta hal semacam itu. Maafkan aku, Atlas. Tiba-tiba saja pikiranku kacau dan bersikap tamak. Maafkan aku, maaf."

Kembali ke masa lalu telah mengajarkan Zemira agar tidak jatuh ke lubang yang sama. Gadis itu bahkan kini pandai berpura-pura sedih, walau sebenarnya ia sedang menyirami bunga-bunga dengan tatapan berbinar. Jika Zemira tidak salah memperkirakan, Atlas yang baru mengenal Zafira masih sangat menyayangi dirinya. Untuk itu Zemira berani meminta pengubahan nama tanah yang sedang dibangun rumah tersebut. Karena Atlas ... akan mengabulkannya.

Setelah Atlas diam sesaat dan hanya membiarkan Zemira terus mengucap maaf, lelaki itu akhirnya bersuara.

"Berhentilah meminta maaf, Zemira. Kau tidak bersalah. Wajar jika kau menginginkan sesuatu dariku. Selama ini kau pun tidak pernah meminta apa pun, Zemira. Barusan aku yang tidak memperhatikanmu dengan baik. Begini saja, bisakah kau mengambil cuti minggu depan? Kita perlu pergi ke notaris untuk mengurusnya."

Zemira memejamkan mata, lega karena rencananya berhasil, sekaligus terluka. Cinta Atlas sebesar ini untuknya, tetapi sangat disayangkan bahwa tidak lama lagi perasaan itu ternoda. Seandainya saja Zemira seorang cukup untuk Atlas, mungkin kisah mereka akan tertulis begitu indah. Dua orang yang saling mencintai, menghormati, dan bersedia bertahan dalam segala situasi adalah mimpi Zemira yang tidak akan terwujud lagi bersama Atlas. Kekasihnya saat ini pada akhirnya akan berubah, pemikiran itu yang sedang Zemira tanamkan pada dirinya agar tidak goyah pada pembuktian cinta Atlas barusan.

"Tidak, Atlas. Aku yang sudah tidak tahu diri. Nanti aku akan mengirimkan uang tambahan, tapi maaf jika tidak sebanyak minggu kemarin. Zafira meminta gaun baru dan aku—"

"Zafira ingin gaun? Ya, tidak masalah. Belikan saja, Zemira. Soal dana rumah, tidak perlu kau pikirkan. Aku akan membeli material secukup uang yang kupunya saja dulu. Dan ingat ini, rumah itu adalah milikmu. Jangan mengatakan omong kosong lainnya. Kita akan bertemu minggu depan. Kau mengerti?"

Haruskah Zemira berbahagia walau luka di dadanya menganga? Sulit bagi Zemira saat ini untuk benar-benar mengabaikan segala bentuk perhatian Atlas pada Zafira. Ia bahkan tidak diberi kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya barusan. Padahal Zemira hanya berniat memberi informasi saja, tanpa menyanggupi akan membelikan Zafira barang yang diinginkan.

Rare CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang