"Hari ini masak apa Dik?" tanya Mas Arman yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Biasa Mas, aku masak nasi goreng kesukaanmu. Ngomong-ngomong, kamu kok keramas Mas? tadi malam kan, kita tidak ...." Tidak aku lanjutkan kata-kataku, karena Mas Arman tiba-tiba saja ....
"Kalau keramas enggak harus seperti itu dulu, kan?"
"Iya juga sih, Mas." Aku menjawab sambil membenarkan lipstikku yang tadi sempat terhapus karenanya.
"Ya udah, makan yuk. Mas udah laper, nih."
"Iya, Mas."
Di meja makan kuamati wajah tampan suamiku. Ia tampak begitu menikmati masakan kesukaannya. Kami hanya makan berdua, karena memang belum memiliki momongan, dan tinggal terpisah dari orangtua kami.
"Mas berangkat dulu, ya. Takut telat." Mas Arman melesat ke arah pintu.
"Iya Mas. Aku nggak di ini?"
"Maaf Dik. Mas buru-buru!" serunya sambil melambaikan tangan.
"T-tapi Mas!"
Deru mobil terdengar di telingaku. Aku mengernyit heran, saat kulirik jam di dinding, waktu masih menunjukkan pukul enam pagi. Jarak antara rumah dengan kantor Mas Arman hanya memerlukan waktu satu jam, sedangkan Mas Arman akan bekerja pukul delapan. Lalu apa yang dilakukan Mas Arman selama satu jam?
"Mungkin, Mas Arman takut macet," ucapku menepis bayangan buruk yang tiba-tiba datang.
Aku akan bereskan meja makan, tapi suara di luar pintu membuatku urung dan berjalan ke depan.
"Di mana Arman!" bentak wanita paruh baya sambil berkacak pinggang.
"Mas Arman, baru saja berangkat."
"Apa!"
"Iya, Bu."
"Jam segini? Kamu ini istri macam apa? Pagi buta suami sudah diusir dari rumah. Mau nyuruh Arman kerja paksa kamu!" bentaknya kasar. Aku berulangkali menghela napas panjang demi meningkatkan kesabaran menghadapinya.
"Tadi Mas Arman bilang dia buru-buru, Bu. Jadi berangkat sepagi ini."
"Alah! Alasan saja kamu!"
Aku diam. Menata hati yang hampir meledak. Sudah tiga tahun pernikahan ini aku jalani, wanita paruh baya yang tidak lain ibu mertuaku ini tidak pernah menerima keberadaanku.
"Minggir!" Ia menabrak tubuhku begitu saja.
Aku meringis, mengawasi dirinya yang pergi ke arah kulkas, tempat persediaan makanan kami disimpan.
"Arini, Arini!"
"Huffft." Kuhembuskan napas lelah. Jujur aku bosan harus menghadapi drama ini setiap ia datang.
"Ada apa Bu?"
"Kulkas isinya hanya telur sama kecap. Kamu kasih makan apa anakku itu?"
"Itu hanya stok untuk sarapan saja, Bu. Karena Mas Arman selalu minta nasi goreng setiap sarapan. Siangnya Mas Arman makan di kantor. Saat malam ia akan membelikan makanan untuk kami berdua," jelasku dengan sabar. Meski aku tahu penjelasan ini tidak akan berpengaruh penting untuk Ibu mertuaku ini.
"Arman bisa-bisa mati kalau hidup sama istri seperti kamu. Masak bisanya cuma nasi goreng. Makan siang dan malam njajan. Allahuakbar! Dia bisa bangkrut kalau begitu terus."
"Maaf Bu. Tapi semua itu keinginan Mas Arman. Bukan keinginanku."
"Halah! Ngeles saja kamu. Aku kasih tahu sama kamu Arini, lebih baik kamu tinggalkan Arman sekarang, daripada nanti kamu nyesel. Arman akan aku jodohkan dengan wanita pilihanku."
"Aku tidak akan pernah meninggalkan Mas Arman, Bu. Maaf, bagiku pernihakan adalah sesuatu yang sakral. Aku tidak akan pernah membiarkan biduk pernikahanku hancur."
"Hah! Percaya diri sekali kamu, kita lihat saja nanti. Siapa yang lebih benar mengenai Arman. Yang jelas, wanita rendahan seperti kamu, samasekali bukan selera Arman. Camkan itu baik-baik."
Brugh!
'Astaga, sudah tua tapi kuat sekali tenaganya.' batinku sambil bangkit. Ibu dari Mas Arman itu pergi tanpa mengatakan apapun lagi.
"Ya Allah, punya ibu mertua kok seperti jailangkung. Datang nggak diundang, pulangnya juga nggak diantar. Selalu saja tiba-tiba muncul, dan menghilang. Bikin jantungku meloncat-loncat saja." Segera aku lanjutkan kegiatan yang sempat tertunda karena kedatangannya.
Sakit mendengar ucapannya. Tapi aku memilih untuk tidak peduli. Terkadang seseorang itu tidak akan bisa berubah, karena memang sudah karakternya seperti itu.
Selesai mencuci piring, aku bersiap mandi. Hari ini udara sedikit dingin, jadi aku memilih mandi setelah Mar Arman pergi bekerja.
"Astaga!" pekikku. Jorok sekali Mas Arman. Tidak biasanya dia seperti ini. Meninggalkan pakaian semalam di gantungan begitu saja, biasanya dia akan menaruhnya ke dalam keranjang pakaian kotor seperti yang sering aku instruksikan.
Meski sedikit kesal, aku tetap berpikir positif. Mungkin tadi malam dia sangat kelelahan, sehingga lupa menaruhnya ke dalam keranjang.
"Astagfirullah hal adzim!" Kali ini aku sungguh terkejut. Ada noda merah di kerah baju yang Mas Arman pakai kemarin.
"Noda apa ini? Seperti bekas lipstik." Ingatanku berputar pada kejadian semalam, dan memang tidak terjadi apa-apa antara aku dengan Mas Arman. Seingatku aku juga tidak menciumnya, karena Mas Arman langsung masuk ke kamar mandi tanpa menyapaku.
Seingatku, aku juga tidak memiliki lipstik dengan warna merah terang yang terlalu mencolok seperti ini, lipstrik yang aku gunakan juga bukan yang meninggalkan bekas. Lipstik ini jelas lipstik murahan.
Lalu, bekas lipstik siapa ini?
Apa mungkin kalau Mas Arman ....
"Tidak!"
***
![](https://img.wattpad.com/cover/318396401-288-k601176.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bekas Lipstik
WerewolfDelapan tahun pacaran dan tiga tahun menikah. Sebelas tahun sudah aku bersamanya. Ternyata kebersamaan selama itu tidak menjamin dia akan setia. Sedangkan diriku, bodoh sekali tidak mampu mengenalinya. Sepuluh tahu sudah menjadi waktu terbodoh yang...