Lizi menyandarkan tubuhnya pada dinding, menghirup dalam-dalam aroma ruangan berdinding kayu. Sebuah buku di depan matanya, kopi dengan asap mengepul, dan suara berisik kota dari luar jendela. Sebenarnya ia sedang menunggu, tapi menunggu dengan sabar karena ia tahu yang di tunggunya bukan seorang yang tanpa alasan.
Beberapa menit terlewat, seorang pria melangkah kearah Lizi sebelum mengambil tempat untuk duduk di depannya.
“Menungguku?”
Lizi menurunkan bukunya. “Menurutmu?”
“Kau tau aku punya pekerjaan dan-”
“Aku tau,” Lizi tersenyum, sebelum menyerahkan sebuah kotak berbentuk persegi panjang pada Marvel.
“Apa ini?” Tanya Marvel, Lizi tidak menjawab. Membiarkan Marvel membuka kotak yang di ulurkannya. Sebuah dasi terlipat rapi, dasi panjang berwarna hitam.
Marvel mengeluarkannya dari dalam kotak. “Wow.” Satu kata kagum keluar dari sela bibirnya, membuat Lizi tertawa pelan.
“Terima kasih.”
Lizi membalas dengan bergumam, menganggukkan kepala, tanpa melunturkan senyum.
“Apa yang kau baca?” Tanya Marvel.
“everyone can be stupid?” Jawabannya terdengar seperti pertanyaan di telinga Marvel.
“Tidak pernah dengar,” Balas Marvel. “Kau harus melipatnya di bagian yang kau suka, aku akan membacanya nanti setelah kau selesai.”
“Tidak, aku tidak akan. Toko buku selalu memberi pembatas buku untuk di gunakan. Dan siapa yang mengajarimu merusak buku?” Lizi terkekeh.
Marvel tertawa samar, terdiam saat matanya masih tertuju pada buku yang Lizi pegang.
“Marvel, kau merusaknya.”
Marvel merebut buku yang Luna pegang. Buku berjudul ‘Pride and Prejudice’ itu kini berada di tangan Marvel yang menyeringai pada wanita di depannya.“Pride and Prejudice?” Tanya pria itu, tersenyum jahil.
“Itu bukan tema yang mau kau baca.”
“Tere Liye masih lebih baik dari ini.”
“Mereka penulis yang berbeda, tentu saja punya hal nya masing-masing. Sekarang kembalikan bukuku, bagian yang seharusnya ku baca hilang nanti.”
“Kau bisa melipatnya.”
“Tidak! Tidak akan.” Luna menatapnya sengit. “Ada pembatas buku di tengahnya, Marvel. Jangan keluarkan itu dari bukunya.”
“Menurutku melipatnya lebih praktis.” Marvel berkata, mengembalikan buku tersebut ke tangan Luna.
“Toko buku punya cara yang baik agar tidak ada bekas lipatan di dalamnya. Siapa yang mengajarimu merusak buku?”
“Marvel.”
Marvel menyadarkan lamunannya. “Ya?”
Lizi tersenyum heran. “Apa ada sesuatu yang…”
Marvel lekas menggeleng. “Tidak, hanya pekerjaan.”