Bab I : Anemones

17 1 0
                                    

Yoona melangkahkan kakinya dengan lesu. Pikirannya penuh. Satu sisi ia merasa ini kegagalannya, satu sisi lain ia merasa dunia saja yang terlalu kejam, kepalanya penuh dengan banyak pertanyaan. Apa salahnya menjadi dirinya? Apa salahnya menjadi sedikit lebih berisi dari gadis-gadis lain? Apa salahnya jika ia sesekali gagal melakukan sesuatu? Apa salahnya jika ia tak seindah Yoona SNSD? Ia sudah berusaha menjaga pola makan, olahraga dan hidup dengan baik, tentu dengan tetap menjadi mahasiswa semester akhir yang produktif dan bekerja keras. Bahkan ia sudah diterima di salah satu perusahaan yang cukup kompeten dan menjadi incaran banyak orang. Bukankah itu sudah menunjukkan kualitasnya? Ataukah kualitas itu tak sempurna tanpa tubuh yang lansing, kaki yang jenjang, wajah tirus dengan mata yang indah lengkap dengan lipatannya? Apakah seseorang hanya akan diterima jika ia sesempurna itu? Ia mulai mempertanyakan eksistensi dirinya sendiri dan mulai membenci dirinya lagi. Orang-orang di sekitarnya tak hentinya membuat ia secara perlahan membenci dirinya sendiri. Ada apa dengan dirinya?

Banyak sekali pertanyaan yang berdesakan di kepalanya saat ini. Hatinya patah jadi dua saat ini, mungkin lebih. Seseorang yang dengannya ia sering berbagi, seseorang yang ia anggap tulus dan akan menerimanya apa adanya bahkan ketika keluarga juga memandangnya sebelah mata ternyata palsu belaka. Seseorang yang menjadi tambatan hatinya dan diam-diam ia cintai. Laki-laki itu, Kwangso, ternyata hanya seseorang yang menilai orang lain berdasarkan manfaat saja. Begitu ia merasa orang tersebut tak bermanfaat akan ia hempaskan. Laki-laki itu hanya memanfaatkannya bahkan membicarakan dirinya dengan teman-temannya di belakangnya serta merendahkannya.

*

Salahku menaruh hati dan begitu naif dalam menilainya, bahkan mengenal selama 6 semester tak menjadi jaminan aku benar-benar mengenalnya. Hati yang berantakan dan perut yang tiba-tiba melilit karena hanya salad yang aku makan hari ini membuatku semakin merasa buruk. Ingatanku kembali ke beberapa menit yang lalu saat aku dengan sengaja diam-diam datang ke tempat biasa berkumpul dengan teman-temannya. Aku berniat ingin mengejutkannya tapi takdir berkata lain, justru aku yang mendapat ­surprise. Aku sungguh tak menyangka dia diam-diam sering mengolok-olokku di depan teman-temannya, merendahkanku dan banyak hal menyakitkan lainnya. Aku menatap sepatu yang sebenarnya tidak membuatku nyaman tapi aku memaksa membelinya karena Kwangso bilang ini cantik. Bahkan ketika mataku menyusuri tubuhku mulai dari kaki hingga kepala, celana yang kupakai, baju yang kugunakan hingga long cardi serta gaya rambutku semua atas rekomendasi Kwangso.

"Hah ... Aku bener-benar gila. Selama ini aku konyol sekali. Si gendut yang konyol." Aku tersenyum kecut. Aku menengadah menatap langit. "Ya Tuhan, bodohnya akuu!!" ratapku seraya memukul kepalaku berkali-kali.

"Aduh ... Sakit!" Aku berhenti memukuli kepalaku seperti orang bodoh lalu mengelus perutku yang kembali terasa melilit, mengingatkan bahwa ia lapar saat ini. Lalu aku melihat ke sekeliling untuk mencari toko yang menjual makanan. Di sisi kiriku ternyata ada Toko Kue, kebetulan sekali. Aku baru saja akan melangkahkan kaki memasuki toko itu ketika sudut mataku menangkap cahaya remang-remang di gang kecil sebelah toko. Tiba-tiba langkah kakiku berubah haluan, kaki ini seperti tertarik sesuatu yang membawaku ke gang itu alih-alih ke Toko Kue. Di depan gang kakiku berhenti. "Bukankah gang ini buntu?" batinku. Tapi aku melihat di ujung jalan gang ini, sekitar 8 langkah kaki ada sebuah pintu kayu dengan lampu antik di atasnya yang menjadi satu-satunya penerang. Pintu itu memiliki dua buah kaca tembus pandang yang melengkung bagian atasnya, tak begitu jernih tapi aku bisa melihat samar-samar cahaya di dalamnya. Aku juga melihat papan kayu yang bertuliskan "Paradise is Open" menggantung dengan nyaman di pintu itu. Aku seperti terhipnotis dan dengan santainya melangkahkan kaki mendekati pintu itu, bahkan tanganku seakan bergerak sendiri dan memegang handle pintu lalu membukanya.

Aku disambut semerbak wangi dari bunga yang berwarna warni dan cahaya yang tak terlalu terang serta sedikit sendu, cahaya yang lembut dan membuat hatiku hangat. Aku terkagum-kagum melihat begitu banyak bunga yang cantik dengan berbagai ukuran. Mataku tak bisa berhenti melihat sekeliling sampai pada satu titik aku melihat seorang pria dengan setelan kemeja lengan pendek dan celana panjang berwarna putih menggunakan apron abu-abu tengah berdiri dengan segenggam bunga di tangan. Mata kami bertemu pandang, tak sepertiku yang terkejut, ia melihatku dengan kedua alis yang sedikit terangkat dan kepala agak miring. Sepertinya ia sudah memperhatikanku sejak aku memasuki toko bunga ini tanpa aku sadari.

Magic Shop : 7 Flower Of MiracleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang