#1
"Enggak, Jo. Dia baik sama gue."
Jodie memutar mata malas, sembari mengetik pada ponselnya dia berceramah panjang, "Sumpah, belain terus cowok kayak gitu, La. Kalo baik, dia nggak bakalan bohong sama lo. Buktinya apa? Dia bilang nongkrong nggak ada cewek, tapi bajunya bau cewek, terus ada kuku palsu ketinggalan di mobilnya. Belain terus, La, capek gue lihat lo."
Reola baru saja diantar pulang oleh pacarnya yang sudah berjalan nyaris setahun belakangan. Mereka habis makan malam, dan Reola sempat melihat ada kuku palsu bermotif Sanrio di mobil Jofi, sang pacar. Spontan Reola menghubungi Jodie, sahabat dekatnya yang akan selalu dengar keluh kesah Reola walaupun sambil misuh-misuh sendiri.
"Terus lo nggak tanya apa-apa?" Jodie melanjutkan.
Sekilas, Reola menggeleng pelan. "Nggak pengen tau jawabannya. Takut," tuturnya lemas duluan.
"Puki," umpat Jodie jadi berapi-api sendiri. "Sembah terus tuh cowok lo, Reola."
"Nggak ada yang bisa perlakuin gue sebaik dia, Jodie. Nggak ada yang bakal mau nanggepin ego gue kayak dia." Selalu alasan yang sama dari Reola.
Jodie menghela nafas keras. "Lo yang nggak mau buka mata aja, sih. Udah keburu bulol duluan sama cowok modal kontol itu."
"Enggak kok. Dia pernah bayarin gue makan."
"Kapan?" Jodie menantang. "Pernah doang 'kan? Nggak sering? Nggak tiba-tiba 'Jemput makanan di depan ya, Sayang. Udah aku pesenin', 'kan?"
"Tapi seenggaknya dia nggak pernah minta-minta uang ke gue ..." Reola melipat lutut ke atas, lalu memeluknya sambil meletakkan dagu seperti sedang merenung.
"Serah lu." Jodie menutup pembicaraan saat itu. Kesal sekali harus mendengarkan pembelaan Reola tentang pacarnya. Benar kata orang, yang sedang jatuh cinta tidak akan mendengar yang waras. Logikanya sudah tertutup oleh lima huruf bodoh itu.
Jodie pamit pulang tak lama setelah itu, meninggalkan Reola yang masih tak henti berpikir. Sedikit terbesit penyesalan, harusnya Reola tak bilang apa-apa pada Jodie. Cukup cewek itu tahu bahwa hubungan Reola baik-baik saja seperti kemarin-kemarin. Mungkin saja semua hanya salah paham yang seharusnya Reola tutup rapi.
Kalau sudah begini, selamanya pun Jofi akan dicap buruk oleh teman Reola. Apalagi kalau sampai kakaknya tahu, bisa-bisa terjadi pertarungan berdarah.
Ah, sepertinya malam ini Reola tidak akan bisa tidur. Mungkin malamnya akan berlalu lebih panjang dari biasanya dihiasi pikiran-pikiran buruk yang tak kunjung bangkit dari kepala.
Reola memutuskan ke luar kamarnya untuk mencari suasana yang lebih segar. Dia menuruni tangga spiral dari kamarnya menuju ke ruang tengah, lalu dalam hening berjalan ke dapur untuk membuat kopi susu kesukaannya.
Dalam remang-remang ruang dapur, ada cahaya memanjang berbentuk pintu. Semburat bau rokok menghampiri hidung Reola dari arah sana. Ah, mungkin kakaknya juga tidak bisa tidur.
Namun, dari belakang Reola hafal betul yang tengah berjongkok di ambang pintu dapur yang menghadap ke halaman belakang itu bukan kakaknya. Cowok yang sedang merokok sambil berbisik pada telepon itu malah sepupu Reola.
"Alan? Nginep sini?" tanya Reola dari belakang.
Declan yang dimaksud, menoleh ke arah Reola sambil memperhatikan cewek itu dari kepala sampai kaki. Yang Reola pikir pertanyaannya akan dijawab, ternyata salah. Declan kembali sibuk dengan dunianya sendiri, bicara dengan orang di seberang telepon.
Yah, Declan memang begitu. Apatis dan lebih cuek dari bebek. Tak ingin menunggu jawabannya, Reola segera membuat kopi susu dan bergegas kembali ke kamar.
Sampai kamar pun Reola masih mencari-cari ponselnya, menunggu dering spesial dari Jofi. Padahal ternyata pesan terakhir Reola pun belum dibaca.
Reola meletakkan gelas kopinya di meja dekat ranjang, dia berbaring telentang setelah menyalakan lagu dengan earphone terpasang di masing-masing telinga. Biasanya Reola bisa ketiduran sendiri menunggu Jofi sampai rumah dan menyentuh ponsel untuk memberinya kabar.
Namun, kali ini mata Reola masih begitu segar karena kepalanya masih berpikir tentang bagaimana jika begini, dan bagaimana jika begitu.
Tak seberapa lama, Reola menangkap bayangan dari sudut matanya. Spontan Reola menoleh pelan sambil melepas sebelah earphone, melihat Declan masuk kamarnya tanpa permisi, atau mungkin permisinya tidak sampai telinga Reola.
Declan mengambil sesuatu dari meja belajar Reola dan pergi begitu saja seolah tidak melihat Reola di sana. Dia bahkan tidak sempat menegur atau bertanya cowok itu mencari apa.
"Nggak sopan," ucap Reola pelan.
Tentu saja masih terdengar oleh Declan, cowok itu sempat menoleh pada Reola. Dalam remang kamarnya, Reola melihat wajah Declan yang seperti sedang berkata "Hajar kalau berani".
"Tidur," kata Declan setelah melihat jam di ponselnya. Walau begitu, dia tidak menyempatkan diri untuk menutup pintu kamar Reola.
Reola menghela nafas panjang, mengumpulkan semangat untuk bangkit dari ranjang dan menutup pintu kamarnya yang masih terbuka sedikit itu.
Ketika sampai di depan pintu, Reola melihat Declan masih berdiri di luar, sedang menatap layar ponsel sambil mengetik sesuatu. Mungkin mengirim pesan selamat malam pada pacarnya. Membuat iri saja.
"Have a great night, Reola."
Declan yang tak menoleh sedikit pun sampai menghilang di balik tangga itu membuat Reola sedikit terkejut. Tak biasanya, atau mungkin ini malah baru pertama kali Reola dapat ucapan selamat malam dari Declan yang seperti tak pernah keluar dari kulkas itu.
Ikuti aku di Instagram: @skyzafnia
KAMU SEDANG MEMBACA
Declanous [Tulis Ulang]
RomanceYou broke my heart, but I still love you with all the pieces.