22. bederfli orphanage

64 21 3
                                    

Dariawal aku memasuki Ruangan ini, perasaanku sudah tidak enak.

Saat pertama kali mengetahui jika aku dijual, rasanya jantungku berhenti berdetak.

Seperti yang sudah ku duga, Maestro bajingan yang membeliku ini tidak ada bedanya dengan Jimmy.

Mereka sama-sama seorang Predator menjijikan yang mempunyai nafsu kotor pada anak kecil.

Jika bisa, aku ingin sekali membunuhnya.

Bulan demi bulan berlalu. Hari demi hari yang aku lalui begitu buruk, sampai kupikir jika Neraka adalah tempat yang lebih baik daripada harus terus bersama dengan Pria yang bernama Deus ini.




























Kini, sudah empat Tahun sejak pertama kalinya aku bertemu Pria itu. Usiaku sudah 13 Tahun.

Seperti biasa, setiap enam bulan sekali, dia membawaku pergi mengunjungi Panti-panti dari berbagai Kota.

Kemudian, dia akan mengajak para penghuni Panti ke Gedung Pertunjukan untuk menyaksikan Opera secara gratis.

Kegiatan sosial, katanya.

Setiap ada orang yang bertanya tentang hubungan Deus denganku, Maestro itu selalu menjawab jika aku adalah anaknya.

Tidak sudi, brengsek. Ingin sekali aku ludahi wajah jeleknya itu.












Sekarang, kami sedang berjalan menyusuri sebuah Kota kecil. Namanya Kota Irzua.

Deus bilang jika Panti yang akan dikunjungi selanjutnya adalah Panti Asuhan Bederfli, terletak ditengah Kota.

"Jangan membuat masalah, jangan terlalu dekat dengan anak-anak yang lain, dan jangan jawab apapun saat mereka bertanya. Kau mengerti, Younghoon?"

Aku hanya mendengus malas mendengarnya, dia selalu saja mengaturku.

"Jadi, sekarang telingamu itu sudah tuli?" Sarkasnya.

"Aku mengerti, Deus!" Sahutku kesal.

Tak lama, kami sampai di Panti Asuhan yang dituju.

Sambutan meriah dari pemilik, Suster, dan anak-anak Panti membuatku sedikit takjub.

Biasanya, penyambutan untuk kami tidak semeriah ini.

Seorang Pria dengan pakaian serba hitam melangkah mendekat kearah Deus berdiri, tangannya terulur, ingin berjabat.

"Selamat datang, Mestro." Sapanya.

Deus tersenyum tipis, "terimakasih sambutannya, aku benar-benar merasa terhormat,"

Pria tadi tertawa kecil, "tidak, justru kami lah yang merasa terhormat karena kedatangan tamu hebat sepertimu."

Keduanya mulai mengobrol, basa-basi, pokoknya tidak penting.

Mataku menilik anak-anak yang berjejer rapih. Dapat kudengar bisik-bisikan kecil, mata mereka lalu sesekali melirikku sambil tersenyum.

Aku tau, pasti mereka mengagumi wajahku.

"Oh ya, apakah ini anakmu, tuan Maestro?"

Aku menoleh saat merasa sedang dibicarakan, Deus merangkul ku dan kembali tersenyum.

"Benar, dia Putraku satu-satunya."

Benar-benar ingin muntah.

Memangnya ada Ayah yang melecehkan Putranya sendiri? Konyol.

Pria yang tadi menyambut pun mempersilahkan kami untuk masuk. Dia menuntun kami menelusuri Panti Asuhan yang lumayan besar ini.

Ekor mataku menangkap para anak-anak yang diam-diam mengintip ketika kami sedang berjalan kedalam, saat aku menoleh, mereka tersenyum.

Aku terus menatap mereka, tapi senyuman mereka tidak kunjung luntur.

Membuatku mengernyit, aneh sekali.


"Aku ingin mengajakmu untuk meminum teh bersama, Maestro. Apa kau bersedia?" Tanya Pria berpakaian serba hitam itu.

"Tentu," balas Deus, ia kemudian melirikku, membuat Pria tadi kembali bersuara.

"Tenang, biarkan saja putramu untuk berkenalan dengan anak-anak Panti yang lain," ujarnya, "sebentar,"

Pria itu berjalan keujung, kepalanya memiring untuk melihat sekumpulan anak yang bersembunyi dibalik belokan tembok.

"anak-anak nakal," dia lalu tersenyum geli, "mau kah kalian menemani anaknya tuan Maestro sebentar?"

"MAU!"

Aku terperanjat mendengar balasan mereka yang keras dan secepat kilat. Bersemangat sekali.

Pria tadi kemudian kembali mendekat, "nah, mari kita menuju ke Ruangan minum teh, Tuan."

Deus mengangguk, dengan ekspresi ramah, dia mencengkeram pundakku, memberi kode agar aku tidak mengacaukan apapun.

Kemudian, keduanya berjalan menjauh. Meninggalkanku dengan anak-anak yang mengintip tadi.

Satu persatu dari mereka mulai keluar, menampakkan diri sambil terus tersenyum.

Mereka menghampiri, tertawa kecil, canggung.

Aku menaikkan sebelah alis, bingung, "apa?" Tanyaku.

Para anak Panti itu malah saling tatap. Dengan kompak, mereka menunjuk salah satu anak yang hanya melayangkan ekspresi linglung.

"Kau saja yang mengajaknya berkenalan, aku malu," ucap salah satunya.

Yang dimaksud mengernyit tidak terima, "ugh, aku juga malu, aku tidak pernah bicara dengan lelaki setampan ini!"

Terang-terangan sekali.

Tiba-tiba, ada satu anak perempuan yang maju. Kepalanya mendongak, dengan tatapan angkuh yang turut melengkapi wajah sok-nya.

Huh? Datang darimana dia?

Seingatku, anak ini tadi tidak ikut mengintip.

"Biar aku saja!" serunya.

Yang lain langsung bersorak girang.

"Seperti yang diharapkan darimu, si pemberani!"

Anak itu kemudian mengulurkan tangan, membuat dahiku mengerut. "Apa?"

Dapat kudengar dengusan kasar lolos dari hidungnya, "kau itu tidak bisa mengucapkan kata lain selain 'apa', ya?" sindirnya.

Lengan gadis itu disikut oleh salah satu anak Panti, dia berbisik, "hei, bicara yang sopan,"

Yang disikut memutar bola matanya, "baiklah, maukah kau memperkenalkan diri, anak tampan?"

Jelas sekali dia sedang kesal, memangnya apa yang sudah aku lakukan?

Aku beralih melipat tangan didepan dada, tak mau menerima uluran tangannya.

"WOOOO~" anak yang lain berseru, seperti bersiap untuk melihat keributan.

Gadis tadi menatapku tidak percaya, "sombong sekali anak orang kaya ini, kau tidak pernah diajarkan sopan santun, ya?!"

Pernah, kok, oleh Ibuku dulu!

Kalau Deus, ya... apa yang mau diharapkan?

"Aku tidak mau bersentuhan dengan orang asing," balasku sekenanya.

"WOOOO~" lagi-lagi, yang lain berseru.

Si gadis memandangku marah, dengan sekali tarikan nafas, dia membuka mulut, bersiap untuk mengomel.

"Kau ini kenapa—"

"Younghoon,"

"Huh?" Ucapannya terputus saat aku menyela.

Habisnya, ia cerewet sekali, sih!

"Namaku Younghoon, apa kau sudah puas sekarang?"

Ia terdiam sesaat, beberapa detik kemudian langsung berdehem.

Aku menipiskan bibir, entah hanya perasaan ku saja atau ia memang selalu mencuri pandang kearah pakaianku?

Sebelum kembali berucap, ia berkedip beberapa kali.

"Oh, ya, nama yang bagus," katanya, asal. "Salam kenal, namaku Isa."

[i] BOOKS OF CIRCUS : The Secret Of The Charming Maestro ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang