11. Witness

2.9K 412 111
                                    

Shani Indira menghela napas panjang sesaat setelah ia mematikan mesin mobil miliknya yang berhenti di area halaman kampus. Jam digital yang melingkar di tangan kirinya menunjukkan pukul dua lebih lima belas menit. Siang itu memang cukup cerah, seperti biasanya. Namun, tentu tak pernah sejalan dengan hati Shani yang tiba-tiba merasa gundah tanpa alasan.

Senyum tipis dari bibir tebalnya timbul sekejap saat melihat seorang pria berkaos hitam yang ia kenali sedang duduk di bangku panjang yang terhalangi oleh pohon glodokan tiang. Tak jauh dari pria tersebut, pria lain yang juga memakai kaos hitam senada tengah berdiri bersandar di pagar besi berwarna abu-abu.

Perempuan tinggi itu kemudian beranjak untuk keluar dari dalam mobil. Melewati beberapa kerumunan kecil, dan menuju ruangan sedang yang berada di belakang tenda lipat berbentuk kerucut berwarna hijau tua. Topi New York Yankees berwarna putih yang ia kenakan menolong dirinya dari terik matahari sampai ia tiba di ruang tujuan.

Di dalam ruang yang cukup ramai tersebut, Shani melihat Gracia yang sedang duduk di kursi santai dengan ponsel di tangannya. Di hadapannya, ada Jesslyn, perempuan yang Shani ketahui sebagai manager dari istrinya.

Melihat kedatangan Shani yang berjalan ke arah keduanya, perempuan berkemeja kotak-kotak itu segera bangkit dari tempat duduk, bermaksud untuk memberikan Shani ruang lebih banyak.

Sedang di tempatnya, Gracia mengernyit. Hendak ke mana managernya itu?

"Jess, lo mau ke man—,"

Cup!

Shania Gracia terkesiap saat seseorang mencium pipinya dengan tiba-tiba. Hampir saja ia melemparkan ponsel miliknya ke wajah si pelaku jika saja Shani tak segera menahan tangannya dan memeluk dirinya dengan erat dari samping.

"Kamu tuh kenapa sih?! Hobi banget ngagetin aku," protes Gracia. Ia lekas melepaskan diri dari dekapan Shani, lalu menarik istrinya untuk duduk di kursi yang sebelumnya Jesslyn tempati.

"Hehe, maaf..."

Melihat penampilan istrinya yang hanya memakai kaos pendek putih dengan celana panjang longgar berwarna abu-abu, Gracia kembali mengerutkan kening. "Kamu gak ke kantor, Shan?" tanyanya.

"Enggak, Ge. Tadi si kembar rewel, gak mau ditinggal. Jadi ya udah," katanya, memberi alasan pada Gracia tentang apa yang membuat ia batal pergi ke kantor di hari Senin pagi. Meskipun sebenarnya, itu hanya salah satu alasan yang Shani beri.

"Terus sekarang mereka di mana? Kok gak dibawa?"

"Mereka lagi tidur siang. Ya kali aku bawa," ucap Shani.

Perempuan berlesung pipi itu meliarkan pandangannya ke segala arah, lalu bertemu dengan beberapa tatapan orang yang sedari tadi sedang memperhatikan dirinya dan Gracia. Namun, ia tak merasa begitu khawatir. Sebab semua orang yang berada di dalam ruangan sudah mengetahui tentang kedekatannya dengan Gracia. Bahkan beberapa dari mereka tahu, bahwa ia dan Gracia telah menikah dan mempunyai dua orang anak.

"Ini kamu syutingnya udah selesai, Ge?" Shani meraih tangan kiri istrinya untuk digenggam di atas paha. Ia tersenyum tipis saat melihat bekas luka samar berwarna putih memanjang yang berada di pergelangan tangan istrinya. Luka ini ... Shani mengingatnya.

"Udah kok, ini aku lagi istirahat aja soalnya masih capek," ujar Gracia.

"Masih capek gak? Kalo enggak, pulang yuk? Istirahatnya lanjut di rumah aja,"

"Ayo, aku juga udah gerah pengen mandi,"

Shani Indira dan Shania Gracia kemudian beranjak dari tempat duduk. Sembari menunggu istrinya berpamitan pada Jesslyn dan beberapa orang kru film, Shani memilih untuk membereskan beberapa barang milik Gracia ke dalam tas. Seperti dompet, makeup, dan juga ponsel.

Triangolo [GreShaNin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang