16. Baby Born

3.3K 435 116
                                    

"Lagi mikirin apa?"

Shani Indira menolehkan kepalanya saat suara lembut milik istrinya menyapa indera pendengarannya tanpa jeda. Tertangkap basah dengan telak sebab dirinya kedapatan menyelam bayangan kosong bahkan saat Gracia berada di sebelahnya membuat ia sedikit tersentak.

Perempuan berlesung pipi itu menghela napas sesaat, lalu menggelengkan kepalanya dengan singkat, "Gak ada," kilahnya. Shani menatap si kembar yang sedang berbaring telungkup di atas karpet tebal dengan masing-masing buku gambar dan berbagai macam pensil warna di tangannya. Keduanya tampak asyik dan sibuk, walaupun beberapa kali kadang harus terlibat adu mulut.

Melihat pemandangan tersebut dalam keadaan hati dan pikiran yang masih berantakan mampu membuat senyum di bibir tebalnya terbit meskipun hanya sedikit. Tetapi, Shani pikir, ini lebih baik daripada ia yang harus terus memikirkan semua masalah yang tak bisa untuk ia tampik.

"Kamu ... lagi mikirin Anin, ya?" tanya Gracia.

Kali ini, satu pertanyaan yang berhasil lolos dari bibir istrinya membuat Shani menoleh dan benar-benar menatap pada perempuan tersebut.

Pertanyaan macam apa itu? Apakah hidup bersama selama bertahun-tahun lamanya membuat Gracia mulai mampu membaca pikirannya juga?

Apa yang harus Shani katakan sekarang? Meskipun jawabannya adalah iya, Shani tak akan pernah sanggup untuk mengatakan itu secara langsung dengan Gracia yang masih berada di hadapannya.

Jika boleh jujur ... ya. Shani sedang memikirkan Aninditha, istri keduanya. Dan tak hanya itu. Saat ini, ia bahkan sedang merindukan perempuan tersebut. Katakanlah Shani jahat, brengsek, dan tak tahu diri sebab telah berani memikirkan perempuan lain saat satu perempuan yang tak akan pernah berpaling dari hidupnya masih bertahan dan menatap dirinya dengan penuh kasih. Shani bahkan tak akan marah jika orang lain menyebut dirinya sebagai manusia paling egois sebab itulah kenyataannya.

Selama beberapa minggu ini, Shani telah berusaha untuk menemui Aninditha di rumah kedua orangtuanya yang berada di Bandung. Namun, tak ada hasil yang ia dapat selain hanya penolakan dan pengusiran. Semua nomor telepon yang ia gunakan untuk menghubungi Anin diblokir tanpa sisa. Perempuan itu benar-benar tak memberinya ruang untuk kembali mendekat, bahkan hanya satu langkah saja.

"Aku takut, Shan..." ucap Gracia dengan pelan. Semua masalah yang terjadi belum benar-benar selesai, dan ini banyak membebani hati dan pikirannya. Ketakutan yang tak seharusnya ia pikirkan tak bisa enyah. Bagaimana bisa Gracia merasa tenang jika ini menyangkut keluarga kecilnya?

Shani lekas bergeser untuk mendekat dan merangkul bahu istrinya dengan mesra, "Takut  kenapa, Sayang?"

"Aku ... takut kamu pergi. Om Bimo, dia—,"

"Ssstttt! Aku di sini, Sayang. Aku gak bakal ke mana-mana," ujarnya. Si Indira kemudian meraih kedua pipi Gracia, membawa wajah cantik istrinya untuk sedikit mendongak. Ciuman hangat pada bibir tipis istrinya yang selalu menggoda ia berikan dengan lembut. Pelan dan dalam.

Sampai di mana istrinya membutuhkan ruang untuk kembali bernapas, Shani menarik diri. Ia tersenyum lembut, lalu memberikan satu kecup yang lama di bibir Gracia. "Aku di sini, Mommy. Aku gak bakalan ninggalin kamu sama anak-anak. Aku janji.."

Shania Gracia segera menghamburkan peluk ke dalam dekapan Shani, memeluknya dengan erat. "Love  you, Didy..."

Melihat kedua orangtuanya yang sedang berpelukan, Christy kemudian beranjak meninggalkan buku gambarnya, lalu naik ke pangkuan Shani. Ia menarik paksa wajah Gracia yang berada di leher Shani, dengan sengaja menjauhkannya. Si Bungsu kemudian meraih kedua pipi Shani, lalu mulai menciumi seluruh bagian wajahnya dengan kecupan basah yang banyak.

Triangolo [GreShaNin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang