"Sayang? Gimana?"
Shani Indira terdiam sejenak.
Perempuan berlesung pipi itu memandangi ponsel hitam miliknya yang menyala, menampilkan panggilan telepon yang masih tersambung dengan Shania Gracia di seberang sana.
Pagi itu cukup cerah walaupun sempat dilanda hujan yang tak berkesudah. Awan putih yang menggulung di langit biru tampak indah meskipun tak sebanyak biasanya. Anehnya, Shani tak merasa bahwa ini akan menjadi hari yang baik. Apalagi setelah ia mengingat kejadian kemarin. Kejadian di mana ... Aninditha menginginkan sebuah perpisahan dengan dirinya.
"Semuanya baik-baik aja, Ge. Anin selamat, bayinya juga," ucap Shani pada akhirnya. Hela napas lega ia dengar dari istrinya. Si Indira tahu, kabar keadaan baik Aninditha adalah hal yang paling perempuan itu tunggu. "Tapi..."
"Tapi kenapa, Sayang?"
"...Anin minta cerai."
"Oh..."
Kemudian hening.
Shani Indira mulai sibuk dengan isi kepalanya yang berisik, sedang Shania Gracia mulai resah dengan hatinya yang sedikit terusik. Keduanya sama-sama merasakan bingung dan juga takut. Bingung yang tak biasa, dan takut yang tak bisa diduga. Shani yang bingung dengan keputusannya, dan Gracia yang takut dengan ... hasil keputusan dari istrinya.
Apakah Shani akan membuat keputusan yang tepat?
Sebab pada akhirnya, apa pun yang akan Shani pilih benar-benar sangat berpengaruh untuk kebahagiaan keluarga kecilnya.
"Shani?" panggil Gracia dengan ragu.
"Iya? Kenapa, Sayang?"
"Jangan tinggalin aku, ya?"
Si Indira terdiam. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat saat mendengar suara Gracia yang mulai bergetar. Jika dalam jarak yang dekat, Shani yakin jika istrinya itu sedang menahan tangis dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Dan itu karena ulahnya.
Siapa dirinya yang lagi-lagi berani menyakiti Gracia?
"Honey..." Shani menggantungkan ucapannya, tak berani menyela. Ia menunggu sekejap saat istrinya terdengar masih ingin mengatakan sesuatu, entah apa.
"Shani?"
"Ya?"
"Kalo urusan kamu udah selesai, cepet pulang, ya? Aku sama anak-anak selalu nunggu kamu,"
"Iya..."
"I ... love you, Didy.." Bersamaan dengan itu, tangis Gracia pecah. Shani membiarkan istrinya terisak beberapa saat, memberinya sedikit waktu untuk meluapkan segala emosi yang membebani hati. Ini lebih baik dilakukan daripada ia yang harus membatasi. Pelukan yang tak bisa ia beri adalah rasa bersalah yang semakin menyudutkan diri.
"Aku bakalan pulang secepatnya, Ge," ucap Shani dengan pasti. Ia menghela napas panjang, lalu memaksakan sebuah senyum yang begitu tipis. "I love you more, Mommy.."
Tut!
Setelah memastikan panggilan telepon dengan istrinya berakhir, Shani kemudian keluar dari dalam mobil, meninggalkan area basement. Ia memantapkan hatinya untuk kembali menemui Aninditha, istri keduanya.
Langkah kakinya yang panjang dan cepat tak bisa untuk ditahan siapa pun. Sepatu kulit berwarna hitam yang dikenakannya beradu langsung dengan lantai rumah sakit, menimbulkan bunyi yang sedikit bising, mengganggu ketenangan pasien ruang VIP yang seharusnya masih hening.
Di depan pintu kamar bernomor 01, Shani melihat Bimo yang sedang duduk di kursi roda, masih dengan dua penjaga setianya. Melihat wajah santai pria tua itu membuat Shani benar-benar ingin menghabisinya. Apalagi setelah mengingat pengusiran yang dilakukan oleh Bimo terhadap dirinya. Sampai mati pun, Shani tak akan pernah melupakan semua perlakuan pria tua itu untuk luka di wajahnya yang dilakukan oleh dua penjaganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Triangolo [GreShaNin]
Fanfiction"Triangolo itu ... apa?" Warning! This story just fanfiction! Jangan bawa cerita ini ke dunia nyata! Cukup hype di lapak ini saja! 📍 Start: 31 May 2022 📍 End: 27 September 2022