Bab 39 : Overthinking

158 17 0
                                    

Gerimis yang turun di kota Jakarta tidak membuat sepasang insan berbeda usia itu lantas berdiam di balik selimut. Sebuah koper besar yang berdiri di depan pintu sudah menjawab pertanyaan yang tersemat dalam benak.

"Mas, nggak mau cireng?"tanyaku setengah berteriak.

Entah kemana perginya pria itu. Tamu bulanan yang datang tidak tepat membuatnya hanya tersenyum sabar. Mengganti kekecewaan yang ada padanya, tangan ku menjadi gatal memasak mengenyangkan perutnya.

"Boleh. Dek, ayo nonton film,"ajak Dirga membuatku menaikkan sebelah mata.

"Yakin ngajak aku? Aku selalu ketiduran setiap nonton, loh,"ucapku meniriskan cireng ditemani bumbu pedas kuah pempek dari Bu Gading tadi sore.

Terlalu sayang kalau dibuang. Terlebih Dirga terlihat menyukai makanan itu. Aku pernah diberi tahu Ibu tentang cara membuat suami betah di rumah. Salah satunya mengenyangkan perutnya. Sebenarnya tanpa menggunakan cara itu, jika istri pertamanya tidak memanggil dia akan berada di rumah sepanjang hari.

"Nggak papa. Boleh?"tanya Dirga membuatku mengangguk pelan.

"Mas, kuahnya segini cukup?"tanyaku.

"Cukup, Nona manis,"ucap Dirga mengangkat serta cireng beserta kuahnya.

Seolah memang sudah berniat mengajakku menonton film, bahkan ruangan kamar pun sengaja di desain senyaman mungkin. Entah film apa yang berusaha dia ajak tonton bersama ku.

"Aku nggak bermaksud apapun dengan film ini, Dek. Cuma, aku mau menunjukkan ini lah dunia yang sebenarnya tempatku membawamu sekarang. Mungkin sekarang aku hanya berseliweran di rumah. Tapi kalau negara memanggil pesan ku hanya satu. Maafkan semua kesalahan ku dan jangan pernah menahan ku pergi,"ucap Dirga membuatku mendongak menatapnya.

"Apa maksudmu? Semua orang memang akan mati. Jadi, apa bedanya?"tanyaku heran.

"Hah, baiklah. Kita mulai saja filmnya,"ucap Dirga mencium pipi ku singkat.

Semenjak aku mengatakan menantikan kepulangannya, dia semakin gencar mencium ku dengan bebas. Bahkan sejak dari sholat Isya hingga saat ini pukul 10 terhitung sudah lima belas kali dia melakukannya. Anggap saja aku konyol, tapi bagaimanapun itu hal baru yang tidak pernah ku lakukan selama menikah.

"Aku juga pernah jadi siswi jadi malu dengan tingkahnya,"ucapku berkomentar melihat adegan para siswi menggoda anggota tentara angkatan darat.

"Yakin?"tanya Dirga menyentuh mengangguk pelan.

"Saat SMA aku harus bekerja keras biar dapat beasiswa. Mana pernah aku memikirkan hal begituan,"ucapku.

"Lompat pagar nggak pernah?"tanya Dirga membuatku menatapnya aneh.

"Orang bodoh mana yang melakukannya?"tanyaku.

"Yang sekarang menikahimu. Tapi itu adalah masa kecil dan aku tidak bisa mengubahnya. Rama akhirnya meminta ajudannya mengantar sampai depan pintu kelas. Kebodohan itu seru tau,"ucap Dirga membuatku menggeleng tak percaya.

Pujian yang mengatakan semua hal aneh pada dirinya telah luntur ku tarik kembali. Menikmati kebodohan itu di anggap seru? Ck, aku dulu sangat bersemangat jika ada pengumuman juara. Kenapa pria absurd ini bisanya memikirkan hal kekanakan seperti itu?

"Jaka itu sama brengseknya sepertimu saat pertama kali bertemu,"ucapku.

"Aku? Apa brengseknya? Kamu yang selalu terseret masalah, aku yang salah?"tanya Dirga.

"Tapi kalimatmu mengatakan istri pertama itu membuatku stres. Kenapa nggak bilang dari awal kalau duda? Aku tuh capek pikiran capek tenaga bekerja seharian. Ketemu berandalan kayak kamu lagi,"ucapku.

Renjana : Arutala Dirgantara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang