BAB 6

25 7 4
                                    

Jam menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi. Adam yang sudah selesai mandi dan telah berpakaian rapi, kini bergegas untuk pergi bersama Aldebaran. Pria itu akan membawanya ke sebuah ruangan dan lalu mengenalkan seseorang padanya. Adam yang kini menjadi adik Aldebaran pun merasa antusias. Ia ingin tahu siapa lagi orang yang akan dikenalkan kepadanya.

Di lorong, Aldebaran merangkul Adam yang bertubuh jauh lebih pendek darinya. Ia memegang pundak Adam kuat, namun tidak sampai menyakitinya.

"Di tempat asalmu, apakah kamu bersekolah?" tanya Aldebaran yang langsung dijawab gelengan oleh Adam.

"Tidak ada uang, jadi aku dan kawan-kawanku tidak bersekolah," ujar Adam. "Lagi pula, kami harus bekerja. Jadi, seandainya pun kami ada uang, kami tetap tidak punya waktu untuk bersekolah," lanjutnya.

Mendengar hal itu, Aldebaran pun hanya mengangguk. Ia yang mengawasi Adam sejak sebulan terakhir ini, tidak menyangka kalau anak itu benar-benar tidak pernah mengenyam pendidikan sekalipun. Tapi untungnya, Adam mengatakan pada Aldebaran kalau ia bisa membaca dan berhitung dengan baik. Bahkan, anak itu langsung mempraktikkannya tepat di depan Aldebaran.

Tambah-tambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian, semua bisa Adam jabarkan di depan Aldebaran. Pelajaran tentang bahasa asing pun Adam menguasainya dengan sangat baik. Aldebaran yang melihatnya merasa kagum sekaligus bangga. Ia tidak menyangka kalau bocah yang sama sekali tidak mengenyam pendidikan itu, ternyata memiliki kecerdasan di atas rata-rata anak seusianya.

"Bagaimana kamu bisa sepintar dan secerdas ini? Apakah ada orang yang mengajarimu?" tanya Aldebaran yang merasa sangat penasaran.

Sembari tersenyum, Adam pun berkata, "Aku suka membaca dan setiap dua minggu sekali ada perpustakaan keliling yang berhenti tepat di taman dekat Pasar Kamis. Aku suka sekali menghabiskan waktu di sana."

"Begitu, ya. Pantas saja kamu sepintar ini," kata Aldebaran yang langsung disenyumi oleh Adam.

"Apakah banyak anak-anak sepertimu yang membaca di sana?" Aldebaran kembali melontarkan pertanyaan.

"Tentu saja. Ada aku, sahabatku Miko dan juga anak-anak jalanan lainnya yang menepi untuk membaca buku di sana. Kami suka belajar," ujar Adam.

Mendengar hal tersebut, hati Aldebaran pun tergerak. Ia berniat akan mendirikan sebuah sekolah gratis untuk anak-anak yang kurang mampu seperti Adam dan juga anak-anak jalanan lainnya. Tapi sebelum itu, ia akan lebih dulu menyediakan perpustakaan keliling yang akan datang setiap hari agar anak-anak jalanan itu bisa membaca buku tanpa harus menunggu setiap dua minggu sekali. Dan, ia juga akan memberikan uang bagi mereka yang ingin belajar dengan serius.

"Ya, akan aku jalankan niatan ini nanti," batin Aldebaran.

Kemudian, pria itu berniat untuk melontarkan pertanyaan yang lain. Namun, Adam yang dirangkulnya tiba-tiba saja menyelak dan lebih dulu mengatakan sesuatu.

"Miko! Aku lupa dengan dia!"

"Mas, sahabatku, Miko. Apakah dia baik-baik saja? Aku lupa ingin menanyakan hal ini padamu sejak tadi."

Sembari melebarkan senyumnya, Aldebaran mengangguk dan berkata, "Tenang saja. Dia baik-baik saja. Dia sudah aku obati dan kini, dia pasti sudah sembuh dan beraktivitas seperti sedia kala."

Mendengar hal itu, Adam pun merasa lega. Namun, dari ucapan Aldeabran, Adam mengambil kesimpulan kalau Miko kini tidak berada di tempat ini.

"Lalu, di mana Miko sekarang?"

Sembari masih melebarkan senyumnya, Aldebaran pun menjawab, "Di rumahnya. Dia aku pulangkan ke sana."

Sedikit kecewa, Adam pun mengembuskan napasnya berat. Hal itu pun disaksikan oleh Aldebaran.

SUKMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang